Bersama enam temannya di Kelas Aksara Kuna, Sinta memulai upaya penyelamatan penggalan-penggalan sejarah Nusantara yang terabaikan itu. Berbekal kamera digital, Sinta memotret halaman demi halaman arsip kuno. Potret itu dikumpulkan, lalu akan diunggah ke laman internet yang sedang ia siapkan. Itulah ”museum digital” naskah kuno idamannya.
Mewujudkan cita-cita itu tak semudah membayangkannya. Saat mendokumentasikan naskah kuno itu, ada saja halangan yang mereka hadapi. Biasanya, mereka berbenturan dengan aturan birokrasi museum atau perpustakaan.
“Selama ini, kami terkendala izin memotret. Meskipun dengan alasan penelitian, memotret satu halaman naskah dikenai biaya sampai Rp 10.000. Jadi, untuk memotret satu naskah utuh, biayanya bisa lebih dari Rp 3 juta,” kata perempuan yang banyak tersenyum ini.
Urusan belum berakhir di situ saja. Izin mengunggah foto arsip ke internet juga berbelit. Tak jarang mereka dimintai biaya tambahan. ”Ada juga yang tidak berkenan naskahnya terpampang di ruang publik. Biasanya kerabat keraton bersikap seperti itu kalau menyangkut urusan pribadi leluhurnya,” lanjut Sinta, yang kini melanjutkan jenjang pendidikan S-3 jurusan filologi di kampus yang sama.
Bagi penyimak sejarah, membaca naskah kuno memang menarik. Dari naskah tua itu biasanya terkuak sisi lain yang disembunyikan penguasa. Sinta mengaku pernah membaca naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional tentang struktur tanah di Pulau Jawa. Naskah itu menyebutkan daerah-daerah yang layak huni dan tidak. Sebuah naskah yang layak menjadi pedoman tata ruang wilayah.
Bagi dirinya sendiri, ada manfaat yang ia petik dari kegiatan ini. Dia sering mencari resep obat-obatan tradisional. Sebagai penyandang penyakit lupus, kebugarannya kerap terganggu. ”Waktu itu, saya sakit mag parah. Saya coba-coba bikin resep yang saya dapat dari naskah kuno. Ternyata manjur,” ujarnya.
Perihal kisah hidupnya bersanding dengan penyakit lupus sudah ia tuangkan dalam buku memoar berjudul
Betapa tidak, kematian seperti begitu akrab dengan hidup Sinta. Dia divonis mengidap lupus pada 2005, saat sedang merayakan kehidupan sebagai mahasiswa di Bandung. Cobaan kian berat dengan kematian ayah dan neneknya
Tak mau menyia-nyiakan tenaga, Sinta seolah memilih berdamai dengan kematian, yang ia sebut selalu menyapa. Dia memilih untuk membahagiakan dirinya dan orang lain. Lewat kecintaannya pada naskah dan aksara kuno, Sinta membuka kelas aksara Sunda secara gratis. Kelas itu berlangsung di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, sekali sepekan. Muridnya sudah mencapai 300 orang dari berbagai usia.