Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sulawesi, Jantung Nusantara yang Terkoyak

Kompas.com - 05/09/2012, 20:37 WIB

KOMPAS.com - Sulawesi adalah jantung Nusantara yang mewakili kompleksitas geologi hasil tumbukan tiga lempeng benua: Eurasia, Australia, dan Pasifik. Pergerakan geologi itu menciptakan Sulawesi sebagai rumah beragam satwa endemis yang tak ada padanannya di dunia.

Pada masa lalu, pulau ini telah menginspirasi naturalis Alfred Russel Wallace untuk meletakkan dasar ilmu Biogeografi dan melahirkan konsep seleksi alam yang mendasari Teori Evolusi. Namun, keberlimpahan tanah Sulawesi yang melegenda itu terancam menjadi dongeng karena dahsyatnya tingkat perusakan.

*****

Matahari tepat di atas kepala. Teriknya membakar. Belantara menyisakan tong gak-tong gak kayu raksasa sisa tebangan yang menyembul di antara ladang jagung. Namun, begitu menyeberangi Sungai Paguyaman dan memasuki lebat Hutan Nantu di pinggiran Provinsi Gorontalo, kami pun tersedot ke dunia lain.

Pepohonan tumbuh meraksasa. Tajuknya membentuk lorong yang menghalangi sinar matahari. Onak menyulur di lantai hutan yang lembab dan gelap. Riuh burung bersahutan. Siang serasa malam karena derit serangga tanpa jeda.

Dari balik pepohonan, James Komolontang (46) dan Jack Komolontang (37) menyambut dengan sikap penuh selidik. Suasana mencair saat kami menyerahkan surat izin memasuki kawasan Suaka Margasatwa Nantu. James dan Jack adalah staf Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI) yang bertanggung jawab menjaga Hutan Nantu, dibantu beberapa anggota Brimob Gorontalo.

"Kalau tidak dijaga, hutan ini sudah habis dijarah," kata James. Lelaki dari Minahasa, Sulawesi Utara, itu berperawakan gempal, tetapi gerakannya gesit. Dia mantan pemburu binatang yang kemudian direkrut YANI untuk menjaga Hutan Nantu. Sudah 10 tahun dia bertugas sebagai jaga wana di Nantu, hutan yang mendapatkan namanya dari banyaknya pohon nantu (Palaquium sp) di sana.

Hari hampir tiba di ujung ketika James mengajak beranjak untuk mencari penghuni Hutan Nantu. Kami berjalan pelan, menyusuri jalan setapak berlumpur. Pohon rao (Dracontomelom dao) tumbuh hingga 40 meter tingginya, terlihat menjulang di antara lebat pohon nantu.

Sesekali kami mesti merunduk, menghindari belitan rotan dan akar gantung yang berjuluran. Jejak kaki binatang tercetak di lantai hutan, menyamarkan jutaan lintah penghisap darah. Rapat tajuk pepohonan mempercepat kelam. Dedaunan yang beradu, diembus angin, mencipta bunyi gemerisik.

Di pinggir kubangan air panas bersumber dari panas bumi, yang disebut masyarakat setempat sebagai adudu, James tiba-tiba memberi isyarat dengan telunjuknya. ”Ssst jangan bersuara,” bisiknya sambil menunjuk kawanan binatang yang asyik mandi sauna.

Lidah binatang itu terjulur, menjilati lumpur kaya mineral. Dua pasang taring menyembul keluar dari mulut sang jantan. Sepasang taring di rahang bawah sangat panjang dan sepasang taring lainnya, yang tumbuh dari rahang atas, keluar lewat hidung lalu melengkung ke atas seperti tanduk hingga mendekati kedua mata. Sepintas, wajah binatang itu mirip babi, tetapi tubuh dan kaki mereka seramping rusa. Paduan ciri babi dengan rusa inilah yang membuat binatang ini disebut babirusa (Babyrousa babyrussa).

Taring babirusa menciptakan sosok yang tak ada padanannya dengan binatang di belahan dunia lain. Naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, yang menjelajah hutan Sulawesi 150 tahun lalu dibuat bingung olehnya. ”Pengelompokan babirusa sulit dilakukan karena tidak mempunyai persamaan dengan babi dari mana pun di dunia ini,” tulis Wallace dalam bukunya, The Malay Archipelago (1869).

Jika tubuhnya adalah paduan babi dan rusa, taring binatang ini, menurut Wallace, mengingatkan pada warthog afrika (Phacochoerus africanus).

”Tidak diketahui pasti kegunaan taring luar biasa yang menyerupai tanduk ini. Beberapa penulis mengemukakan bahwa taring itu berfungsi sebagai pengait agar dapat mengistirahatkan kepala di dahan. Akan tetapi, taring tersebut sepertinya lebih mungkin untuk melindungi mata dari onak dan duri saat mencari buah-buahan di antara rotan dan tumbuhan berduri lainnya,” tulis Wallace.

Namun, Wallace buru-buru menyanggah dugaannya. ”Ini juga tidak memuaskan karena babirusa betina yang mencari makan dengan cara yang sama tidak memiliki taring seperti itu.”

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com