Di Aceh, lima gajah mati. Dua bangkai ditemukan di Aceh Jaya, Maret dan Mei 2012. Lalu, tiga gajah mati di kawasan perkebunan masyarakat di Aceh Timur, 2 Juni lalu.
Di Riau, tujuh kasus kematian gajah di kawasan blok hutan Tesso Nilo. Satu kasus terakhir, 7 Juni 2012, satu gajah jantan remaja mati dengan gading hilang di dekat perkebunan PT Riau Andalan Pulp and Paper.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan Novianto Bambang Wawandono, Selasa (19/6), di Jakarta, mengatakan, penyebab kematian ke-12 gajah di Aceh dan Riau itu akibat racun. Ini kesimpulan dari analisis laboratorium yang menemukan konsentrasi zat racun tinggi pada organ dalam bangkai gajah.
Novianto menduga racun ini dicampur makanan kegemaran gajah. Penyebabnya, gajah kerap merusak perkebunan warga atau perusahaan. Untuk menemukan pelakunya, ia menyerahkan kepada pihak berwajib.
”Kematian di daerah konservasi, seperti Taman Nasional Tesso Nilo, kami tingkatkan patroli petugas balai. Kalau di luar hutan, kami kerja sama dan sosialisasi dengan masyarakat,” ucapnya.
Selama ini, gajah keluar dari hutan karena mencari makan. Oleh karena itu, gajah menyambangi areal permukiman dan perkebunan untuk mempertahankan hidup. Ini merugikan dan mengganggu masyarakat/perusahaan.
Direktur Konservasi WWF Indonesia Nazir Foead mengatakan, masalah utama kematian gajah akibat konflik lahan dan habitat. ”Bukan karena perburuan. Gading gajah yang diambil itu reekses,” ucapnya.
WWF Indonesia yang juga bekerja di Riau dan Aceh mendesak agar konflik gajah-manusia diatasi. Pada jangka pendek, ia merekomendasikan patroli gajah terlatih menghalau kedatangan gajah liar.