Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

12 Gajah Sumatera Mati Diracun

Kompas.com - 20/06/2012, 02:30 WIB

Jakarta, Kompas - Tiga bulan terakhir, 12 gajah Sumatera mati mengenaskan di Aceh dan Riau. Kematian fauna dilindungi ini karena racun. Ini merupakan puncak konflik gajah dan manusia. Pemerintah didesak menemukan pelakunya dan mengantisipasi berulangnya kejadian serupa.

Di Aceh, lima gajah mati. Dua bangkai ditemukan di Aceh Jaya, Maret dan Mei 2012. Lalu, tiga gajah mati di kawasan perkebunan masyarakat di Aceh Timur, 2 Juni lalu.

Di Riau, tujuh kasus kematian gajah di kawasan blok hutan Tesso Nilo. Satu kasus terakhir, 7 Juni 2012, satu gajah jantan remaja mati dengan gading hilang di dekat perkebunan PT Riau Andalan Pulp and Paper.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan Novianto Bambang Wawandono, Selasa (19/6), di Jakarta, mengatakan, penyebab kematian ke-12 gajah di Aceh dan Riau itu akibat racun. Ini kesimpulan dari analisis laboratorium yang menemukan konsentrasi zat racun tinggi pada organ dalam bangkai gajah.

Novianto menduga racun ini dicampur makanan kegemaran gajah. Penyebabnya, gajah kerap merusak perkebunan warga atau perusahaan. Untuk menemukan pelakunya, ia menyerahkan kepada pihak berwajib.

”Kematian di daerah konservasi, seperti Taman Nasional Tesso Nilo, kami tingkatkan patroli petugas balai. Kalau di luar hutan, kami kerja sama dan sosialisasi dengan masyarakat,” ucapnya.

Selama ini, gajah keluar dari hutan karena mencari makan. Oleh karena itu, gajah menyambangi areal permukiman dan perkebunan untuk mempertahankan hidup. Ini merugikan dan mengganggu masyarakat/perusahaan.

Direktur Konservasi WWF Indonesia Nazir Foead mengatakan, masalah utama kematian gajah akibat konflik lahan dan habitat. ”Bukan karena perburuan. Gading gajah yang diambil itu reekses,” ucapnya.

Patroli terlatih

WWF Indonesia yang juga bekerja di Riau dan Aceh mendesak agar konflik gajah-manusia diatasi. Pada jangka pendek, ia merekomendasikan patroli gajah terlatih menghalau kedatangan gajah liar.

Ia mengatakan, WWF memiliki contoh unit patroli gajah yang mekanismenya bisa diadaptasikan perusahaan. ”Bisa saja dua perusahaan bekerja sama meminjam gajah dari Kementerian Kehutanan (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) untuk melakukan patroli menghalau gajah liar yang mendekati perkebunan,” ucapnya.

Untuk jangka panjang, setiap penggunaan tata ruang harus melibatkan instansi konservasi, dalam hal ini Badan Konservasi Sumber Daya Alam serta Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

”Jangan ada lagi penggunaan hutan habitat atau jalur migrasi fauna, termasuk gajah, untuk peruntukan lain. Karena kalau hal itu dilakukan, akan terjadi konflik habitat (antara fauna dan manusia). Tak ada yang diuntungkan dari situ,” paparnya.

Populasi merosot

Populasi gajah Sumatera menurun drastis dalam kurun empat tahun terakhir. Lembaga Konservasi Dunia (IUCN) menaikkan status keterancaman gajah sumatera dari Genting menjadi Kritis, hanya selangkah dari status Punah di Alam.

Ini merupakah status terburuk dibandingkan subspesies gajah yang lain, baik di Asia maupun Afrika. Saat ini, jumlah gajah sumatera di alam 2.400 ekor-2.800 ekor saja.

Jumlah itu turun 50 persen dari populasi sebelumnya, yaitu 3.000 individu-5.000 individu pada tahun 2007. Alih fungsi lahan dan hutan merupakan penyebab utama penurunan populasi gajah. Selain itu, konflik manusia dengan gajah juga masih terus terjadi.

(ICH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com