Hutan rusak adalah sumber malapetaka. Bencana akibat susutnya hutan hadir di sekitar kita. Pada musim hujan, bencana banjir datang seolah tanpa berkesudahan. Pada musim kemarau, kekeringan ada di mana-mana. Hancurnya hutan telah memusnahkan sumber kehidupan karena hutan menyediakan jutaan keanekaan hayati yang berfungsi sebagai penyedia sumber air dan kebutuhan nyata jutaan penduduk, penyedia tanaman obat, sumber stok genetik, regulator iklim, pencegah bencana alam, dan penjaga keseimbangan ekosistem.
Pada 2001, penelitian yang dilakukan Pieter van Beukering dan Herman Cesar tentang nilai ekonomi hutan Leuser menunjukkan, nilai konservasi hutan jauh melebihi nilai ekonomi daripada pemanfaatan kayu.
Dalam hitungan mereka, upaya konservasi Kawasan Ekosistem Leuser selama 30 tahun akan memberi pendapatan Rp 85 triliun, antara lain dari pemanfaatan air oleh berbagai sektor dan jasa lingkungan. Di antaranya penyediaan air bersih, plasma nutfah, pengendalian erosi dan banjir, penyerapan karbon, pengaturan iklim lokal, perikanan air tawar, dan pariwisata. Dalam kurun waktu yang sama, pengambilan kayu hutan hanya menghasilkan Rp 31 triliun.
Pemerintah seharusnya merujuk hasil penelitian Van Beukering dan Cesar untuk menentukan pilihan pengelolaan sumber daya hutan, terutama saat hutan Indonesia memprihatinkan seperti sekarang.
Namun, pilihan konservasi hutan jangan pernah didasari pada niat untuk mendapat bantuan asing yang berkedok utang, seperti program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sekarang. Selain menjadi beban anak cucu dan jadi ajang korupsi
Sikap yang jauh lebih terhormat adalah merawat hutan dengan ketulusan kita, sebagaimana hutan pun ikhlas memberikan semua yang ada padanya.