Penebangan ramin dilarang sejak 2001 dan secara internasional spesies ramin dilindungi oleh Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Laporan itu juga menyebutkan, sejak 2001 paling tidak 180.000 hektar hutan lahan gambut di Sumatera hancur dikonsesi-konsesi perusahaan.
Laporan disampaikan kepada polisi ketika Presiden SBY belum genap tiga pekan menegaskan komitmennya melestarikan lingkungan di hadapan para diplomat asing (Kompas, 16/2). Komitmen yang berulang kali diucapkan untuk menyelamatkan hutan Indonesia itu dinilai tak lebih dari sekadar pernyataan belaka.
Sepanjang sejarah Indonesia, negara sering tak berdaya menghentikan perusakan hutan alam oleh perusahaan-perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH). Dengan kekuatan uang, perusahaan membuktikan dirinya jauh lebih kuat—bahkan daripada negara sekalipun—untuk memegang kendali atas sumber daya hutan yang semestinya dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Akibat konflik sumber daya hutan dengan perusahaan, tak jarang masyarakat terusir dari tanahnya tanpa perlindungan negara dan kompensasi apa pun. Kasus Mesuji adalah salah satu contohnya. Padahal, jika kita mau belajar dari sejarah, kekayaan
Dekade 1980-an adalah masa sumber daya hutan Indonesia mulai dieksploitasi oleh ratusan perusahaan HPH. Sepanjang 1980-1999 tercatat ada 115 industri kayu nasional. San Afri Awang—dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM tahun 2008—menyebutkan, setelah dikelompokkan, pemegang izin HPH itu hanya dimiliki sekitar 20 konglomerat kehutanan.
Ironisnya, sepanjang tahun 1980-1999 itu pula pemanfaatan hasil hutan tidak berkontribusi maksimal terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan penduduk di sekitar hutan.
Kini, yang ditinggalkan para konglomerat kehutanan hanyalah kerusakan. Kerusakan hutan tercepat di Indonesia terjadi dalam kurun 1980-1999, saat para konglomerat kehutanan dengan serakah mengeksploitasi hutan alam Indonesia hingga 2,83 juta hektar per tahun.