Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Kesangsian Masih Terus Membayangi

Kompas.com - 12/02/2012, 02:25 WIB

Berbagai perubahan positif itu belakangan memang mendatangkan apresiasi dari sejumlah negara maju yang sebelumnya menerapkan sanksi keras terhadap Myanmar. Pasca-kunjungan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, awal Desember lalu, yang juga menemui Suu Kyi, negeri itu seolah menjadi semacam ”magnet” bagi banyak pemerintahan negara-negara dunia dan kalangan swasta. Mereka berlomba-lomba menjanjikan dan menawarkan komitmen, terutama terkait ekonomi.

Berbagai langkah maju yang digelar terbukti mendatangkan banyak ”berkah” dan keuntungan bagi negeri itu. Namun, sejumlah pihak masih tetap mengaku masygul dan bahkan meragukan ketulusan Pemerintah Myanmar untuk berubah. Mereka terutama masih mempertanyakan latar belakang dan motivasi apa yang mendasari berbagai langkah drastis tersebut.

Kondisi itu dipaparkan dengan menarik oleh Aung Zaw—jurnalis sekaligus editor Irrawaddy, situs berita Myanmar berbasis di Thailand—yang lebih dari dua dekade mengasingkan diri di ”Negeri Gajah Putih”. Kepada The Wall Street Journal, Zaw menyebut saat ini perasaan campur aduk banyak dirasakan rakyat Myanmar menyikapi berbagai perubahan yang terjadi.

”Bukan apa-apa, selama ini mereka telah melihat sikap brutal alamiah dari rezim masa lalu. Oleh karena itulah saat ini mereka masih sangsi dan bertanya-tanya apakah (kondisi) sekarang sekadar sebuah siasat? Apakah sikap pemerintah sekarang benar-benar tulus dan sungguh-sungguh? Atau apakah Myanmar memang benar-benar tengah bergerak maju ke arah yang lebih baik,” ujar Aung Zaw dalam tulisannya.

Zaw baru-baru ini pulang kembali ke tanah airnya itu untuk pertama kali. Dia diberi lima hari visa kunjungan. Dalam kesempatan itu dia bertemu sejumlah pihak, termasuk sejumlah pejabat pemerintah dan militer yang selama ini dikritik lewat tulisan-tulisannya. Secara umum, Aung Zaw mengaku menangkap ada nada tulus dari sejumlah kalangan pemerintah di Myanmar terkait perubahan yang berlangsung saat ini.

Namun begitu, sebagian kalangan lain tetap meragukan komitmen perubahan Pemerintah Myanmar. Sikap keras dan jauh lebih terus terang disuarakan pendeta Buddha terkenal yang pada 2007 memimpin aksi unjuk rasa menentang pemerintahan saat itu, Shin Gambira (33). Tak lama setelah dibebaskan bersama sekitar 400 tahanan politik lain, pekan lalu, Gambira mengaku tidak percaya dengan ketulusan dan keseriusan pemerintah, khususnya militer, untuk mengubah diri.

Kebanyakan dari mereka yang masih sangsi memang kerap mempertanyakan apa motif dan alasan sebenarnya dari berbagai perubahan itu.

Selama ini Myanmar bahkan kerap dinilai sudah telanjur berada di zona nyaman meski ada berbagai tekanan dan sanksi internasional yang diterapkan kepada negeri tertutup yang juga anggota ASEAN ini.

Lantas, bagaimana membuktikan semua sikap dan pernyataan tadi memang alasan sebenarnya mengapa perubahan terjadi sekarang di Myanmar?

Sejumlah kalangan di Myanmar mengungkapkan, kemungkinan semua pertanyaan dan kesangsian tadi bisa dijawab, salah satunya dengan melakukan pemantauan terhadap kelangsungan proses dan hasil pemilihan umum sela yang akan digelar 1 April mendatang.

Dalam pemilu sela itu NLD akan memperebutkan 48 kursi kosong di parlemen. Suu Kyi bahkan diyakini berpeluang masuk dalam pemerintahan lantaran bisa dipastikan dia dan partainya akan memenangi pemilu sela nanti.

Walau jumlahnya tidak terlalu signifikan dibandingkan total kursi yang dimiliki partai pendukung pemerintah, banyak pihak yakin pemilu sela itu bisa dijadikan semacam simbol atau juga parameter seberapa jauh perubahan memang benar-benar tengah dan terus terjadi di Myanmar.(BBC/AFP/DWA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com