Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Kesangsian Masih Terus Membayangi

Kompas.com - 12/02/2012, 02:25 WIB

Satu per satu kebijakan reformatif yang terkesan mengarah pada upaya menciptakan masa depan Myanmar yang demokratis terjadi. Ibarat bunyi slogan iklan televisi, ”nyaris selalu ada yang baru” setiap hari di Myanmar setidaknya dalam setahun terakhir ini. Berbagai kebijakan baru politik Pemerintah Myanmar pun kini bermunculan.

Padahal, sejumlah persoalan terbilang masih mengganjal. Misalnya, pertanyaan terkait kredibilitas pemerintahan sipil hasil pemilihan umum Myanmar yang selesai digelar pada November 2010.

Sebut saja ketika pemilu digelar. Banyak tatapan mata skeptis dan bahkan apatis serta penuh kecurigaan saat itu diarahkan ke Myanmar. Banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri, menganggap pemilu hanyalah demokrasi pura-pura.

Junta militer memang membubarkan diri sekitar sebulan sebelum pemilu digelar. Namun, sebagian besar dari mereka ”berganti seragam” dan lalu ”menyipilkan” diri dengan membentuk partai politik sekaligus ikut maju dalam pemilu.

Sementara aturan pemilu yang diterapkan ketika itu juga mengganjal pihak oposisi, seperti tokoh pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi beserta partai pengusungnya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), untuk maju. Aturan main pemilu yang diterapkan melarang para tahanan politik terlibat dan ikut maju mencalonkan diri. Dengan alasan itulah Suu Kyi dan para pengikutnya di NLD memboikot pemilu.

Bisa diduga, Partai Pembangunan dan Solidaritas Bersatu (USDP) bentukan para mantan militer keluar sebagai pemenang pemilu dengan meraup 80 persen suara. Otomatis hal itu memberi mereka mayoritas kursi di parlemen dan juga di pemerintahan. Militer juga masih terbilang kuat dengan ketentuan ”jatah” 25 persen kursi di parlemen.

Semua fakta itulah yang kemudian dijadikan alasan kuat oleh kalangan oposisi dan dunia internasional, khususnya negara-negara Barat dan Amerika Serikat, kalau demokrasi dan perubahan tidak pernah terjadi di Myanmar.

Akan tetapi, secara mengejutkan, seminggu setelah pemilu, Pemerintah Myanmar membebaskan Suu Kyi dari status tahanan rumah. Selain Suu Kyi, ribuan tahanan, sebagian merupakan tahanan politik, juga diberi amnesti. Setelah dibebaskan, pemimpin oposisi Suu Kyi juga diberi keleluasaan untuk bergerak dan berpolitik. Bahkan, beberapa kali dia diundang untuk bertemu perwakilan pemerintah, termasuk Presiden Thein Sein di Naypyidaw.

Beberapa langkah mengejutkan lain yang diambil Pemerintah Myanmar, yaitu melepas kembali ratusan tahanan politik negeri itu. Mereka juga menggelar pertemuan damai membahas gencatan senjata antara pemerintah dan kaum pemberontak dari kelompok etnis minoritas.

Dalam konteks kebijakan, kejutan juga terjadi setelah Pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang baru yang memberikan kebebasan bagi para buruh di negeri itu untuk berorganisasi dan berunjuk rasa. Lebih jauh lagi, mereka juga mendorong pembentukan komisi nasional hak asasi manusia dan juga baru-baru ini menjanjikan kebebasan bagi pers di negeri itu.

Berbagai perubahan positif itu belakangan memang mendatangkan apresiasi dari sejumlah negara maju yang sebelumnya menerapkan sanksi keras terhadap Myanmar. Pasca-kunjungan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, awal Desember lalu, yang juga menemui Suu Kyi, negeri itu seolah menjadi semacam ”magnet” bagi banyak pemerintahan negara-negara dunia dan kalangan swasta. Mereka berlomba-lomba menjanjikan dan menawarkan komitmen, terutama terkait ekonomi.

Berbagai langkah maju yang digelar terbukti mendatangkan banyak ”berkah” dan keuntungan bagi negeri itu. Namun, sejumlah pihak masih tetap mengaku masygul dan bahkan meragukan ketulusan Pemerintah Myanmar untuk berubah. Mereka terutama masih mempertanyakan latar belakang dan motivasi apa yang mendasari berbagai langkah drastis tersebut.

Kondisi itu dipaparkan dengan menarik oleh Aung Zaw—jurnalis sekaligus editor Irrawaddy, situs berita Myanmar berbasis di Thailand—yang lebih dari dua dekade mengasingkan diri di ”Negeri Gajah Putih”. Kepada The Wall Street Journal, Zaw menyebut saat ini perasaan campur aduk banyak dirasakan rakyat Myanmar menyikapi berbagai perubahan yang terjadi.

”Bukan apa-apa, selama ini mereka telah melihat sikap brutal alamiah dari rezim masa lalu. Oleh karena itulah saat ini mereka masih sangsi dan bertanya-tanya apakah (kondisi) sekarang sekadar sebuah siasat? Apakah sikap pemerintah sekarang benar-benar tulus dan sungguh-sungguh? Atau apakah Myanmar memang benar-benar tengah bergerak maju ke arah yang lebih baik,” ujar Aung Zaw dalam tulisannya.

Zaw baru-baru ini pulang kembali ke tanah airnya itu untuk pertama kali. Dia diberi lima hari visa kunjungan. Dalam kesempatan itu dia bertemu sejumlah pihak, termasuk sejumlah pejabat pemerintah dan militer yang selama ini dikritik lewat tulisan-tulisannya. Secara umum, Aung Zaw mengaku menangkap ada nada tulus dari sejumlah kalangan pemerintah di Myanmar terkait perubahan yang berlangsung saat ini.

Namun begitu, sebagian kalangan lain tetap meragukan komitmen perubahan Pemerintah Myanmar. Sikap keras dan jauh lebih terus terang disuarakan pendeta Buddha terkenal yang pada 2007 memimpin aksi unjuk rasa menentang pemerintahan saat itu, Shin Gambira (33). Tak lama setelah dibebaskan bersama sekitar 400 tahanan politik lain, pekan lalu, Gambira mengaku tidak percaya dengan ketulusan dan keseriusan pemerintah, khususnya militer, untuk mengubah diri.

Kebanyakan dari mereka yang masih sangsi memang kerap mempertanyakan apa motif dan alasan sebenarnya dari berbagai perubahan itu.

Selama ini Myanmar bahkan kerap dinilai sudah telanjur berada di zona nyaman meski ada berbagai tekanan dan sanksi internasional yang diterapkan kepada negeri tertutup yang juga anggota ASEAN ini.

Lantas, bagaimana membuktikan semua sikap dan pernyataan tadi memang alasan sebenarnya mengapa perubahan terjadi sekarang di Myanmar?

Sejumlah kalangan di Myanmar mengungkapkan, kemungkinan semua pertanyaan dan kesangsian tadi bisa dijawab, salah satunya dengan melakukan pemantauan terhadap kelangsungan proses dan hasil pemilihan umum sela yang akan digelar 1 April mendatang.

Dalam pemilu sela itu NLD akan memperebutkan 48 kursi kosong di parlemen. Suu Kyi bahkan diyakini berpeluang masuk dalam pemerintahan lantaran bisa dipastikan dia dan partainya akan memenangi pemilu sela nanti.

Walau jumlahnya tidak terlalu signifikan dibandingkan total kursi yang dimiliki partai pendukung pemerintah, banyak pihak yakin pemilu sela itu bisa dijadikan semacam simbol atau juga parameter seberapa jauh perubahan memang benar-benar tengah dan terus terjadi di Myanmar.(BBC/AFP/DWA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com