Padahal, sejumlah persoalan terbilang masih mengganjal. Misalnya, pertanyaan terkait kredibilitas pemerintahan sipil hasil pemilihan umum Myanmar yang selesai digelar pada November 2010.
Sebut saja ketika pemilu digelar. Banyak tatapan mata skeptis dan bahkan apatis serta penuh kecurigaan saat itu diarahkan ke Myanmar. Banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri, menganggap pemilu hanyalah demokrasi pura-pura.
Junta militer memang membubarkan diri sekitar sebulan sebelum pemilu digelar. Namun, sebagian besar dari mereka ”berganti seragam” dan lalu ”menyipilkan” diri dengan membentuk partai politik sekaligus ikut maju dalam pemilu.
Sementara aturan pemilu yang diterapkan ketika itu juga mengganjal pihak oposisi, seperti tokoh pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi beserta partai pengusungnya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), untuk maju. Aturan main pemilu yang diterapkan melarang para tahanan politik terlibat dan ikut maju mencalonkan diri. Dengan alasan itulah Suu Kyi dan para pengikutnya di NLD memboikot pemilu.
Bisa diduga, Partai Pembangunan dan Solidaritas Bersatu (USDP) bentukan para mantan militer keluar sebagai pemenang pemilu dengan meraup 80 persen suara. Otomatis hal itu memberi mereka mayoritas kursi di parlemen dan juga di pemerintahan. Militer juga masih terbilang kuat dengan ketentuan ”jatah” 25 persen kursi di parlemen.
Semua fakta itulah yang kemudian dijadikan alasan kuat oleh kalangan oposisi dan dunia internasional, khususnya negara-negara Barat dan Amerika Serikat, kalau demokrasi dan perubahan tidak pernah terjadi di Myanmar.
Akan tetapi, secara mengejutkan, seminggu setelah pemilu, Pemerintah Myanmar membebaskan Suu Kyi dari status tahanan rumah. Selain Suu Kyi, ribuan tahanan, sebagian merupakan tahanan politik, juga diberi amnesti. Setelah dibebaskan, pemimpin oposisi Suu Kyi juga diberi keleluasaan untuk bergerak dan berpolitik. Bahkan, beberapa kali dia diundang untuk bertemu perwakilan pemerintah, termasuk Presiden Thein Sein di Naypyidaw.
Beberapa langkah mengejutkan lain yang diambil Pemerintah Myanmar, yaitu melepas kembali ratusan tahanan politik negeri itu. Mereka juga menggelar pertemuan damai membahas gencatan senjata antara pemerintah dan kaum pemberontak dari kelompok etnis minoritas.
Dalam konteks kebijakan, kejutan juga terjadi setelah Pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang baru yang memberikan kebebasan bagi