Induk kuda nil buru-buru berbalik arah dan berenang mencari bayinya. Dengan kepalanya, induk kuda nil kemudian ”membopong” bayinya hingga menyembul ke permukaan air sehingga bayinya bisa bernapas dengan baik.
”Sungguh, ini suatu pengalaman sangat berharga menyaksikan kelahiran satwa liar yang tidak mudah dilihat setiap orang,” katanya.
Liang tak bisa menghafal tahun-tahun kelahiran puluhan, bahkan seratus lebih, satwa liar yang telah ”dibidaninya”. Tetapi, dia menuliskan semuanya dalam berkas laporan yang kini masih tertumpuk di gudang KBS.
Seperti pengalaman persalinan anoa (Bubalus depressicornis) yang harus dioperasi caesar. Ketika itu bobot bayi anoa dalam kandungan berlebih sehingga menyulitkan proses kelahirannya sehingga diputuskan untuk mengoperasi caesar induk anoa. Induk dan bayi anoa pun selamat.
Liang juga terkenang saat tiga tahun pertama bekerja. Ia selalu ditemani bayi singa dari hasil persalinan satwa liar yang dialami pertama kalinya ketika masuk KBS tahun 1981.
”Bayi singa itu diberi nama Winggo, selalu menemani ke mana pun saya pergi selama di kebun binatang. Winggo layaknya anjing yang lucu dan setia,” katanya.
Literatur perilaku dan pakan satwa liar di KBS sangatlah minim. Ketika kuliah pun yang dipelajari Liang bukanlah perihal satwa liar, tetapi satwa domestik seperti hewan ternak untuk konsumsi manusia.
Liang tak seperti orang buta yang meraba-raba. Dia memanfaatkan literatur ”berjalan”, yaitu para keeper atau perawat satwa. Dari situlah dia belajar banyak mengenai satwa-satwa liar.
KBS, bagi Liang, merupakan gudang pengetahuan perilaku satwa liar. Masyarakat luas pun berhak mengetahuinya.
Keberadaan KBS di tengah Kota Surabaya justru mendekatkan pengetahuan itu kepada masyarakat. Bagi Liang Kaspe, mengetahui banyak pengetahuan tentang satwa liar menambah bijak sikap manusia.