”Proses persalinannya lama, sampai 1,5 jam. Pertama-tama kaki bayi jerapah keluar, disusul kepala, hingga seluruh badannya,” katanya.
Ia takjub, mengapa proses kelahiran bayi jerapah sangat pelan. Ada peristiwa mengagumkan ketika posisi kepala keluar. Pertama kali bagian mulut keluar, lidahnya tampak menjulur ingin menjilat-jilat.
”Ketika seluruh badan keluar, bayi jerapah terjatuh di tanah. Tetapi, tiba-tiba saja induknya berlari meninggalkan bayinya hampir selama 30 menit,” ceritanya.
Dengan handuk Liang mengusap-usap bayi jerapah yang ditinggalkan induknya itu. Di situlah terjadi kesalahan pertamanya memperlakukan bayi satwa liar.
”Setelah bayinya saya sentuh, induk jerapah tidak mau menyentuh dan menyusui bayinya. Saya kemudian yang harus merawat bayi jerapah itu hingga dewasa,” katanya.
Ia tertawa saat mengenang betapa tingginya bayi jerapah, melampaui tinggi badannya. Pada saat menyusuinya, ia harus menyeret kursi atau bangku untuk dinaiki sambil menjulurkan dot susu ke mulut bayi jerapah itu. Saat terlahir, tinggi bayi jerapah mencapai 155 sentimeter, hampir sama dengan tinggi badan Liang.
Ia lalu mempelajari perilaku induk jerapah. Induk jerapah akan berlari meninggalkan bayinya yang baru lahir untuk mengamankan wilayah di sekitarnya. Sekitar 30 menit kemudian, asalkan belum ada makhluk lain yang menyentuh bayinya, induk itu akan kembali untuk menjilat-jilat dan menyusui bayinya.
Persalinan kuda nil (Hippopotamus amphibius) juga menjadi pengalaman mengesankan bagi Liang. Ia mengatakan, ilmu pengetahuan yang dipelajarinya selama di bangku kuliah terasa sangat kurang.
”Di tengah malam saya menunggui induk kuda nil yang akan melahirkan. Saya cemas ketika induk kuda nil terlihat akan melahirkan, tetapi tiba- tiba saja ia masuk ke dalam kolam,” katanya.
Liang pun khawatir soal keselamatan bayi kuda nil di dalam air. Ia menyaksikan saat induk kuda nil merejang. Bayinya keluar melesat seperti roket air hingga terlempar sampai dua meter di dalam air.