Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hancurnya Benteng Alam

Kompas.com - 13/12/2011, 22:30 WIB

Oleh Yulvianus Harjono

KOMPAS.com - "Dhuar...!" tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga dari perbukitan itu. Bersamaan suara menggelegar, jatuh ratusan ton batu berukuran raksasa—rata-rata seukuran sepeda motor.

Di atas lereng bukit, seorang petambang batu bergelantungan, terlilit seutas tali tambang sambil memegang sebilah linggis. Rupanya, suara batu-batu besar menggelegar yang jatuh dari lereng terjal bukit itu hasil cukilan linggisnya.

Kawasan Gunung Kunyit yang tingginya 300-400 meter di atas permukaan laut tersebut, saat ini merupakan kawasan penambangan liar galian C. Batu- batu dari perbukitan ini dijual ke sejumlah daerah di Bandar Lampung sebagai bahan fondasi rumah atau bangunan.

"Goenoeng Koenjit", demikian orang Belanda menamai kawasan perbukitan di pesisir selatan Teluk Betung, Bandar Lampung, itu. Namun, saat ini, kawasan perbukitan karst tersebut tidak lagi terlihat seperti gunung.

Penambangan liar tak terkendali selama puluhan tahun telah menghabisi perbukitan itu. Kini, diperkirakan hanya tersisa 30-40 persen dari total luas perbukitan sesungguhnya.

Pemandangan di kawasan yang disebut Gunung Kunyit oleh warga lokal itu kini mencengangkan. Bukit-bukit bebatuan dan pasir terlihat terpenggal-penggal membentuk tebing yang curam setinggi puluhan meter hingga ke puncak bukit.

"Dulu, ketika saya masih kecil, badan gunung ini masih terlihat (menjorok) sampai ke laut. Sekarang, lambat laun mulai habis (ditambang)," ujar Adi (32), warga Bandar Lampung, memberikan gambaran kondisi Gunung Kunyit pada masa lalu.

Tak mengherankan, siapa pun yang mencoba mencari letak Gunung Kunyit melalui Google Maps, wahana teknologi informasi ini akan menunjuk lokasi gunung di lepas pantai, bukan daratan! Saat ini, jarak bukit dengan pantai sekitar 120 meter.

Bagong (32), petambang batu yang biasa beraktivitas di Gunung Kunyit, membenarkan, puluhan tahun lalu, cakupan dari perbukitan ini sangat luas, mencapai puluhan hektar. Kini, luasnya kurang dari 10 hektar. Bahkan, sebagian areal bekas perbukitan yang ditambang kini menjadi permukiman penduduk, kebanyakan warga petambang setempat.

"Dulu, kalau mau menambang (batu) sampai ke pinggir laut. Bahkan, (material) diangkut pakai kapal ke daratan," ujar Bagong, mengungkapkan kisah yang diceritakan petambang batu dari generasi-generasi sebelumnya di wilayah tersebut.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com