Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Haul Krakatau Mulai Dilupakan Warga

Kompas.com - 11/12/2011, 16:53 WIB

"Dulu pantai ini berlubang-lubang penuh batu karang. Malah ada kampung lama yang setelah tsunami tenggelam di tengah laut. Orang-orang menyebutnya Karang Kabua. Tempat itu katanya dulu nyambung dengan pantai ini," ujar Agus (46), warga Desa Teluk.

Agus merupakan generasi kedua. Keluarganya berasal dari Jawa Tengah yang datang ke Desa Teluk akhir tahun 1950-an. "Orang di sini semuanya pendatang. Leluhur kami meratakan pantai yang penuh karang dan membangun rumah di atasnya," ujarnya.

Setelah letusan Krakatau, kawasan pesisir di sepanjang Labuan menjadi lahan kosong tak berpenghuni. Orang asli yang selamat dari bencana itu takut untuk tinggal kembali di tepi pantai. "Kalau pendatang seperti kami, tidak tahu pas meletusnya, jadi kami tidak takut tinggal di sana," kata Agus. Krakatau bagi para pendatang justru memberinya rezeki lantaran banyaknya turis yang ingin berkunjung ke sana dan menyewa perahu mereka.

Sama seperti Labuan, Pulau Sebesi, yang seluruh penduduk aslinya tewas tersapu tsunami akibat letusan Krakatau 1883, juga kembali dipenuhi warga pendatang. Kepala Desa Tejang, Sebesi, Syahroni (45), bercerita, seluruh warga Pulau Sebesi merupakan pendatang dari Banten, Lampung, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Barat. Mereka juga mulai menghuni Sebesi sekitar tahun 1950.

Tidak adanya sambungan memori warga dengan Krakatau agaknya juga menyebabkan warga Sebesi tidak memiliki trauma dan ketakutan terhadap Anak Krakatau. Padahal, dari pulau itu, Anak Krakatau terlihat sangat dekat. Nyaris setiap Anak Krakatau meletus, abunya menutup seluruh genteng warga.

Tanah yang subur dan laut yang kaya ikan membuat warga abai dengan risiko letusan Anak Krakatau. Sebaliknya, kiriman abu Krakatau justru disyukuri sebagai berkah karena menyuburkan kebun kakao, pisang, dan kopra.

Tiadanya kepedulian terhadap risiko Anak Krakatau juga terlihat di Teluk Betung, Lampung. Gunung Kunyit, benteng alam yang melindungi warga Teluk Betung saat tsunami melanda kawasan ini tahun 1883, kini nyaris musnah karena ditambang.

Penambangan liar yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan bukit yang dulu menjorok 120 meter ke laut berubah menjadi teluk. "Kalau tidak ada Gunung Kunyit, bisa jadi tempat kami tinggal ini hancur disapu tsunami saat itu (letusan Krakatau 1883)," kata Sapami (39), warga Teluk Betung Selatan.

Kini, sepanjang kawasan pesisir Teluk Lampung yang pernah dihantam tsunami hingga ketinggian 30 meter ini telah disulap menjadi permukiman padat dan kawasan industri. Dari 1,2 juta jiwa penduduk Bandar Lampung, 10 persen di antaranya tinggal di kawasan pesisir ini.

Di kawasan industri Cilegon, Banten, bukit-bukit yang menjadi tumpuan evakuasi jika tsunami terjadi juga ditambang, misalnya, terjadi di Cikuasa Atas. Proyek penyebaran 40.000 pamflet berisi kiat-kiat penyelamatan dari bencana tsunami tak mempan menghadapi cangkul para petambang yang lapar.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com