JAKARTA, KOMPAS.com - Masa depan Protokol Kyoto masih mengambang. Sampai dengan hari ke 10, belum ada tanda positif bahwa Protokol Kyoto akan berlanjut ke periode kedua.
Demikian dilaporkan delegasi KRUHA Diana Glutom dan Sri Ranti Zahrani dari WALHI lewat Skype dalam acara Media Briefing yang diadakan Walhi, Rabu (7/12/2011).
Negara-negara peserta Pertemuan Tingkat Tinggi Pertemuan Para Pihak ke-17/Pertemuan Para Pihak tentang Protokol Kyoto ke-7 (COP-17/CMP-7) Kerangka Kerja Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Durban justru terpecah. seolah
Kanada telah menyatakan keluar dari Protokol Kyoto, secara resmi akan diumumkan 23 Desember 2011. Jepang dan Rusia juga menyatakan keluar dari Protokol Kyoto.
Sebaliknya, mayoritas negara berkembang seperti Indonesia dan Aliansi Pulau dan Negara Kecil (AOSIS) menyatakan dukungan pada berlanjutnya Protokol Kyoto.
Sementara, Amerika Serikat dan negara-negara Annex I mengusulkan adanya mekanisme baru untuk menurunkan emisi. Penurunan emisi tidak harus bergantung pada Protokol Kyoto.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Berry Furqan Nahdian mengatakan bahwa pertemuan di Durban tahun ini adalah kesempatan terakhir membicarakan Protokol Kyoto sebelumnya berakhirnya periode pertama pada Desember 2012 mendatang.
Menurutnya, kelanjutan protokol tersebut harus diperjuangkan oleh Indonesia. Protokol Kyoto memang bukan satu-satunya mekanisme mengurangi emisi menanggulangi dampak perubahan iklim, namun belum ada mekanisme lain yang konkret.
"Mekanisme baru yang diusulkan ini cuma salah satu cara untuk menghindar dari kewajiban yang mengikat," ungkap Berry.
"REDD+ itu juga salah satu mekanisme mengurangi emisi. Namun sampai sekarang juga belum konkrit," tambahnya.