Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antara Mitigasi dan Godaan Pasir Besi

Kompas.com - 23/11/2011, 07:03 WIB

Surono kembali menolak rencana mitigasi yang diajukan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan tersebut. Menurut dia, pendekatan mitigasi itu keliru. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang harus diperhatikan dalam mitigasi bencana adalah manusia, bukan merekayasa gunungnya.

"Mitigasi secara struktural dengan membuat saluran untuk mengalirkan lava dan mengurangi material di Anak Krakatau tidak perlu dilakukan. Tidak ada penduduk di sana," ujar Surono.

Direktur Eksekutif Walhi Lampung Hendrawan juga mengkhawatirkan mitigasi hanyalah alibi untuk mengeksploitasi Anak Krakatau. "Pasir hitam di Anak Krakatau memiliki kualitas kelas I," ujarnya

Menyandang status sebagai cagar alam laut, aktivitas di kompleks Krakatau sangat dibatasi, apalagi penambangan, tentulah dilarang.

Apalagi, bagi kalangan ahli botani, kompleks Krakatau adalah laboratorium alam yang sangat penting. "Ini satu-satunya laboratorium alam di dunia yang memiliki catatan rinci sejak awal kemunculan spesies dari kondisi steril akibat letusan. Kompleks Krakatau ini harus dijaga tetap alami," kata ahli botani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Tukirin Partomihardjo.

Berkeras

Sekretaris Daerah Lampung Selatan Sutono membantah pengajuan permohonan mitigasi in-situ (dalam kawasan) dilandasi kepentingan ekonomi. Menurut dia, mitigasi bencana Anak Krakatau perlu dilakukan dengan dua cara, yaitu ex-situ (di luar kawasan) dan in-situ. Upaya mitigasi in-situ, ungkap dia, bisa dilakukan dengan cara membuat saluran pengarah lava dan mengurangi material di gunung berupa pasir besi. Adapun ex-situ berupa sosialisasi dan penyiapan ke warga.

"Jadi, ini untuk keperluan jangka panjang. Kalau terjadi bencana, yang bakal dirugikan kan masyarakat kami," tuturnya.

Selain pengambilan material, disebut juga soal pemasangan sistem peringatan dini dan penyuluhan kepada warga tentang dampak bencana Anak Krakatau.

Warga Pulau Sebesi justru mempertanyakan proyek ini. ”Mereka lebih tertarik mengambil pasir. Itu bisa merusak karang yang jadi rumah ikan. Padahal, sebagian warga adalah nelayan,” ujar Jon, warga Sebesi.

Menurut Jon, yang lebih dibutuhkan warga Sebesi sebenarnya adalah sosialisasi soal ancaman bahaya dan pelatihan kesiapsiagaan terhadap letusan Anak Krakatau. Sejauh ini, warga pulau berpenghuni yang terdekat dengan Anak Krakatau itu belum pernah sekali pun mendapatkan pembelajaran tentang mitigasi bencana.

Potensi produksi tambang bijih besi di pulau ini mencapai 5.071 meter kubik. Pasir besi di Anak Krakatau memang menggoda. "Pengusaha sih enak dapat pasir besinya.... Kami tetap saja diabaikan. Jangan-jangan memang kami hanya jadi alasan untuk penambangan," kata Muchtar, warga Sebesi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com