Oleh Ahmad Arif,Yulvianus Harjono, dan Indira Permanasari
KOMPAS.com - Pasir lembut menghampar luas di kaki Gunung Anak Krakatau. Warnanya hitam legam dan lengket di kaki yang basah. Di kejauhan, puncak Anak Krakatau terus menyemburkan asap, memberikan sinyal tanda bahaya, tetapi sekaligus menjanjikan pasokan pasir yang seolah tanpa batas.
Hingga sebelum Juni 1927, Anak Krakatau masih tersembunyi di laut. Kemunculannya ditandai dengan semburan air panas berbau belerang pada Juni 1927. Sejak saat itu, gunung ini tumbuh cepat hingga kini mencapai ketinggian 285 meter di atas permukaan laut. Dengan laju pertambahan ketinggian rata-rata 4 meter per tahun, Anak Krakatau dikhawatirkan suatu saat akan kembali meletus hebat sebagaimana leluhurnya.
Damin (70), nelayan dari Desa Teluk, Teluk Betung, Lampung, menyaksikan perkembangan Anak Krakatau tersebut sejak gunung itu masih berupa gundukan batu dan pasir yang menyembul di tengah laut. "Saat masih kecil, saya kadang berenang di sekitarnya. Sekarang sudah tinggi sekali, bikin ngeri. Bagaimana nanti kalau meletus," ujarnya.
Melihat pertumbuhan Anak Krakatau itu, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan juga mulai didera "kekhawatiran". Pada tahun 2008, mereka menyusun rencana mitigasi guna mengurangi dampak bencana dengan menggandeng perusahaan swasta.
Namun, rencana mitigasi itu menuai kontroversi karena lebih difokuskan kepada rekayasa fisik gunung. Bupati Lampung Selatan (saat itu) Zulkifli Anwar memberikan kuasa kepada perusahaan swasta tersebut untuk "membonsai" Anak Krakatau.
Awalnya, beberapa pejabat di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memberikan persetujuan. Namun, Kepala PVMBG Surono, yang waktu itu baru saja menjabat, menentangnya. Menurut Surono, upaya mitigasi itu tak lebih dari penambangan pasir besi dengan dalih mitigasi.
Wendy Melfa yang menggantikan Zulkifli sebagai bupati kembali melanjutkan program ini pada 2009. Dia mengizinkan dua kapal keruk beroperasi di perairan Anak Krakatau. Kembali upaya ini ditentang, termasuk oleh Kementerian Kehutanan, karena dianggap melanggar konservasi Cagar Alam Laut Krakatau. "Mereka bilang mitigasi, tetapi kapal itu menyedot pasir," kata Endang Widiastuti, dosen Biologi Kelautan Universitas Lampung. Proyek mitigasi akhirnya ditangguhkan setelah ditentang banyak kalangan.
Namun, upaya ini dilanjutkan Bupati Lampung Selatan yang baru, Rycko Menoza, mulai 2011. Perusahaan yang digandeng juga masih sama.
Fokus ke manusia