Sambil menangis, ia berkata, ”Daging pun aku sulit mengunyah, kenapa cucuku tega memberi tulang. Seakan aku tidak berguna lagi di dunia.”
Seketika itu juga hujan lebat turun, disertai petir. Banjir melanda, menenggelamkan Kawar, nenek, dan lahan pertanian sehingga terbentuklah danau yang dinamakan Lau Kawar.
Moral cerita ini barangkali untuk mengingatkan agar menghormati orang tua dan jangan serakah. Namun, di baliknya ada upaya merekonstruksi penciptaan danau. Antropolog dari Universitas Pittsburgh, Pamela J Stewart dan Andrew Strathern, dalam Landscape, Memory and History: Anthropological Perspectives (2003) menyebutkan, formasi alam yang unik, seperti gunung, danau, dan sumber air panas, kerap dikeramatkan. Pantangan dibuat demi menghormati ruang sakral itu.
”Saat mendaki Sinabung, tak boleh berpikir dan berucap kotor, membakar babi atau anjing, karena akan mendatangkan bencana,” kata Sidarta, pemandu pendakian.
Bagi orang Karo, Sinabung bukan sekadar gunung. Dia juga ruang spiritual, yang jejaknya terekam dari sejumlah sesajen di jalur pendakian. Antropolog dari Universitas Sumatera Utara, Sri Alem Sembiring, mengatakan, orang Karo percaya tendi yang mengisi alam semesta. Ritual dilakukan jika terjadi ketidakseimbangan antara tubuh dan tendi. Keseimbangan alam terganggu jika inti kehidupan, seperti tanah, air, dan udara, terusik. Ritual berfungsi menjaga keseimbangan makrokosmos agar tidak terjadi bencana.
Sang petarung
Bertolak dari tepi danau itu, kami mendaki ke puncak. Tidak banyak yang dilihat lantaran gelap. Satu jam mendaki, pepohonan lebat dengan akar menghalangi digantikan bebatuan cadas yang terbentuk dari lelehan lava. Jalan semakin terjal.
Batu-batuan longgar dengan mudah tercongkel dan gugur. Sebelum berangkat, petugas pos pemantauan Sinabung, Armen Putra, mengatakan, aktivitas Sinabung stabil dan aman didaki. Hanya saja, pendaki harus berhati-hati dengan kemungkinan runtuhan batu. Sinabung memang tak bisa diremehkan. Selain jalan terjal, bebatuannya pun rapuh dan mudah longsor.
Tak heran, Sinabung disebut ”gunung petarung”. ”Ada kepercayaan, jika mau sukses dalam hidup, dakilah Sinabung,” ujar Ita Sembiring, budayawan Karo.
Tiga setengah jam mendaki, kami tiba di area lapang, hanya 10 meter dari puncak. Hari masih gelap. Kami tiba satu jam lebih awal dari jadwal. Kabut tebal turun. Angin menderu kencang, membawa gigil dingin. Kami menunggu di tanah lapang itu, menggelar mantel dan membungkus tubuh dengan pakaian tebal yang dibawa.