Indira Permanasari & Ahmad Arif
KOMPAS - ”Awas batuuuuu...,” teriakan keras itu memecah malam sunyi. Dengan bantuan sinar senter, mata liar mencari arah jatuhan batu. Badan bergeser ke tubir tebing, sementara tangan erat mencengkeram akar pepohonan.
Tiba-tiba terdengar suara tak kalah keras, ”Aduuuh.” Salah seorang porter, yang berada beberapa langkah di depan, rupanya terlambat menghindar. Tangannya terbentur batuan longsor. Untung hanya terluka kecil.
Walau ”hanya” berketinggian 2.460 meter di atas permukaan laut, pendakian ke Sinabung tidaklah mudah. Batuan rapuh, cadas licin berselimut lumut, dan tanjakan berkemiringan 75 derajat menemani perjalanan, 26 Juli lalu. Demi mengejar matahari terbit di puncak, perjalanan malam pun ditempuh.
Lau Kawar
Sehari sebelum pendakian, Puncak Sinabung diselimuti asap tebal. Digolongkan sebagai gunung api Tipe B—karena tak aktif sejak tahun 1600—Sinabung tiba-tiba meletus, 29 Agustus 2010. Letusan itu menaikkan status Sinabung menjadi Tipe A dan dipantau intensif.
Letusan itu juga menumbuhsuburkan ritual terkait gunung. Jejak ritual berupa sesaji terlihat di sepanjang jalur pendakian, biasanya berupa jeruk peras, daun sirih, dan rokok.
Pendakian diawali dari Danau Lau Kawar. Danau seluas 200 hektar yang siang hari begitu indah berubah misterius pukul 00.30. Pikiran pun melayang pada legenda danau tersebut.
Konon, sebelum jadi danau, Lau Kawar merupakan lahan pertanian. Hiduplah satu keluarga petani. Silih berganti anggota keluarga menunggu ladang, hingga siang itu tiba giliran sang nenek. Sebagaimana biasa, cucunya, Kawar, mengantarkan makanan.
Namun, dalam perjalanan, Kawar kelaparan. Tanpa pikir panjang disantapnya jatah nenek hingga tersisa tulang. Nenek kecewa ketika menemukan bekalnya tanpa lauk-pauk lagi.