Maka, para peneliti mengupayakan pencarian materi gelap ini dengan membuat laboratorium jauh di dalam perut Bumi. Salah satunya adalah percobaan DAMA yang berlangsung di kedalaman 1.400 meter di bawah Gunung Gran Sasso, Italia.
Seperti yang diberitakan dalam majalah The Economist, inti percobaan adalah mencari hasil tumbukan antara atom-atom Bumi dan partikel masif bermediasi lemah yang dihipotesiskan sebagai bahan penyusun materi gelap. Tumbukan ini menghasilkan sinyal atomik individual, yang dengan perlengkapan tepat bisa diobservasi.
DAMA dipimpin oleh Rita Bernabie dari Universitas Rome Tor Vergata. Mereka menggunakan 250 kilogram kristal sodium iodida karena bahan ini dapat mengembang menjadi kristal murni. Selama 15 tahun uji coba, detektor telah merekam ratusan ribu emisi cahaya. Sayang, sebagian besar bukan dipicu oleh materi gelap.
Untunglah, kemudian Bernabie menemukan pola yang khas dalam uji coba itu: jumlah tumbukan naik setiap tahun dan mencapai puncaknya pada akhir Mei, lalu luruh ke titik minimum pada akhir November. Bernabie dan koleganya kemudian mengklaim pola ini sebagai bukti kuat kehadiran materi gelap karena terkait dengan gerakan Bumi mengelilingi Matahari. Musim panas pada Mei meningkatkan kecepatan tumbukan partikel penyusun materi gelap, sementara musim dingin pada bulan November memicu penurunan kecepatan tumbukan.
Pro-kontra tentu saja terjadi. Fisikawan yang tidak setuju mengingatkan bahwa perubahan pola yang terkait dengan siklus musim tahunan bisa saja terjadi karena berbagai faktor.
Sebaliknya, Kolaborasi CRESST yang melakukan penelitian serupa kurang banyak mendapat kritik. Padahal, Kolaborasi CRESST juga memublikasikan keberhasilan mendeteksi materi gelap di arXiv, suatu basis data riset internasional.
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian CRESST adalah 300 gram kristal kalsium tungstat, yang dipilih dengan alasan sama seperti sodium iodida. Hasilnya para peneliti mengidentifikasi 67 tumbukan yang diyakini dipicu oleh partikel penyusun materi gelap. Menurut mereka, kurang dari 50 yang berasal dari empat tipe interferensi yang disebabkan oleh peluruhan radioaktif. Maka sisanya diklaim berasal dari materi gelap.
Dan Hooper, ahli fisika teori dari Fermilab, Amerika Serikat, memuji kedua hasil di atas. Ia mendeskripsikannya sebagai langkah besar untuk memahami semesta.
Hal senada diungkapkan oleh Dr Terry Mart, Ketua Peminatan Fisika Nuklir dan Partikel Teori di Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. ”Temuan itu tidak hanya mengubah pandangan manusia tentang semesta, tetapi juga menetapkan standar baru dalam ilmu-ilmu kosmologi dan akan menguak rahasia semesta lebih banyak lagi,” katanya.