Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Ujung Pencarian Materi Gelap

Kompas.com - 21/09/2011, 01:49 WIB

AGNES ARISTIARINI

Manusia tampaknya harus segera mengubah pola pikirnya tentang alam semesta. Kalau selama ini materi di semesta selalu bisa dikenali dengan segenap indera—dirasakan, dilihat, dicium, diraba, dan didengar—penelitian terakhir mengonfirmasi adanya materi yang tidak terdeteksi pancaindera.

Inilah yang disebut dengan materi gelap atau dark matter. Materi ini dipostulasikan astronom Swiss, Fritz Swicky, ketika mengobservasi kluster Galaksi Coma tahun 1933.

Swicky bisa menghitung massa rata-rata galaksi dalam kluster. Namun, ketika mencoba menghitung pendar cahayanya, ia mendapatkan hasilnya 160 kali lebih besar dari yang diharapkan. Kelebihan hitung inilah yang kemudian disimpulkan Swicky sebagai dampak dari faktor materi gelap.

Selama ini manusia mengenal materi konvensional seperti elektron, neutron, dan proton. Adapun materi gelap diasumsikan mengandung partikel subatomik baru yang tidak berinteraksi secara elektromagnet ataupun dalam ikatan nuklir. Hanya gravitasi dan fenomena ikatan nuklir lemah—yang mengatur peluruhan beberapa tipe radioaktif—dapat menyatukannya.

Fisikawan Albert Einstein sebenarnya telah mengakomodasi materi gelap ini dalam teori kesetaraan massa dan energinya terkenal. Sayangnya, teori yang meyakini bahwa alam semesta ini berkembang belum terbukti saat itu karena keterbatasan alat.

Maka, Einstein pun terpaksa memodifikasi teorinya dengan menambahkan konstanta kosmologi. Baru setelah teleskop Hubble diluncurkan, teori Einstein terbukti benar lewat foto-foto kiriman Hubble.

Setelah teknologi makin cangg   ih, para astronom menemukan justru alam semesta ini berkembang lebih cepat dari yang diduga. Sesuai teori Einstein, pengembangan membutuhkan energi yang setara dengan massanya. Di sinilah materi gelap diperhitungkan.

Seperti diketahui, analisis komputer terhadap foto-foto kuasar—benda antariksa bercahaya terjauh yang tampak dari pengamat Bumi—menampakkan pola emisi cahaya yang berubah-ubah. Variasi ini disebabkan oleh awan materi-materi gelap yang melintas di depan kuasar. Bolak-baliknya awan itu memperbesar cahaya pancaran kuasar.

Meski para fisikawan yakin bahwa materi gelap ini benar-benar ada, pembuktiannya sungguh tidak mudah. Berbagai uji coba yang dilakukan selama puluhan tahun tidak juga menunjukkan hasil. Persoalan utamanya adalah bagaimana mengisolasi uji coba ini agar tidak terkontaminasi dengan cahaya-cahaya kosmik yang ada di alam.

Maka, para peneliti mengupayakan pencarian materi gelap ini dengan membuat laboratorium jauh di dalam perut Bumi. Salah satunya adalah percobaan DAMA yang berlangsung di kedalaman 1.400 meter di bawah Gunung Gran Sasso, Italia.

Tumbukan atom

Seperti yang diberitakan dalam majalah The Economist, inti percobaan adalah mencari hasil tumbukan antara atom-atom Bumi dan partikel masif bermediasi lemah yang dihipotesiskan sebagai bahan penyusun materi gelap. Tumbukan ini menghasilkan sinyal atomik individual, yang dengan perlengkapan tepat bisa diobservasi.

DAMA dipimpin oleh Rita Bernabie dari Universitas Rome Tor Vergata. Mereka menggunakan 250 kilogram kristal sodium iodida karena bahan ini dapat mengembang menjadi kristal murni. Selama 15 tahun uji coba, detektor telah merekam ratusan ribu emisi cahaya. Sayang, sebagian besar bukan dipicu oleh materi gelap.

Untunglah, kemudian Bernabie menemukan pola yang khas dalam uji coba itu: jumlah tumbukan naik setiap tahun dan mencapai puncaknya pada akhir Mei, lalu luruh ke titik minimum pada akhir November. Bernabie dan koleganya kemudian mengklaim pola ini sebagai bukti kuat kehadiran materi gelap karena terkait dengan gerakan Bumi mengelilingi Matahari. Musim panas pada Mei meningkatkan kecepatan tumbukan partikel penyusun materi gelap, sementara musim dingin pada bulan November memicu penurunan kecepatan tumbukan.

Pro-kontra tentu saja terjadi. Fisikawan yang tidak setuju mengingatkan bahwa perubahan pola yang terkait dengan siklus musim tahunan bisa saja terjadi karena berbagai faktor.

Sebaliknya, Kolaborasi CRESST yang melakukan penelitian serupa kurang banyak mendapat kritik. Padahal, Kolaborasi CRESST juga memublikasikan keberhasilan mendeteksi materi gelap di arXiv, suatu basis data riset internasional.

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian CRESST adalah 300 gram kristal kalsium tungstat, yang dipilih dengan alasan sama seperti sodium iodida. Hasilnya para peneliti mengidentifikasi 67 tumbukan yang diyakini dipicu oleh partikel penyusun materi gelap. Menurut mereka, kurang dari 50 yang berasal dari empat tipe interferensi yang disebabkan oleh peluruhan radioaktif. Maka sisanya diklaim berasal dari materi gelap.

Dan Hooper, ahli fisika teori dari Fermilab, Amerika Serikat, memuji kedua hasil di atas. Ia mendeskripsikannya sebagai langkah besar untuk memahami semesta.

Hal senada diungkapkan oleh Dr Terry Mart, Ketua Peminatan Fisika Nuklir dan Partikel Teori di Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. ”Temuan itu tidak hanya mengubah pandangan manusia tentang semesta, tetapi juga menetapkan standar baru dalam ilmu-ilmu kosmologi dan akan menguak rahasia semesta lebih banyak lagi,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau