JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan Java Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) dengan tujuan menyelamatkan Badak Jawa menyulut perdebatan. Gabungan LSM seperti Wahana Lingkungan Hidup dan Silvagama seperti diberitakan Rabu (20/7/2011) lalu menuntut rencana pembangunan JRSCA dibatalkan.
Hal yang menyulut perdebatan adalah pembangunan pagar beraliran listrik di Cilintang hingga Aermokla (sepanjang 28 km) dan di Laban hingga Karang Ranjang (2 km) dan pembuatan jalan. Pemagaran dan pembuatan jalan dikhawatirkan berdampak secara ekologis dan sosial.
Beberapa dampak yang disebut ialah terfragmentasinya Taman Nasional Ujung Kulon yang akan berdampak pada satwa lain, semakin mudahnya perburuan karena lalu lintas satwa terbatas serta hilangnya 110 hektar lahan penduduk serta semakin mudahnya perambahan hutan area taman nasional.
Dalam diskusi yang diadakan hari ini (26/7/2011) di FMIPA Universitas Indonesia Depok, Ketua Pengurus Yayasan Badak Indonesia (YABI) memberikan tanggapan atas reaksi penolakan pembangunan JRSCA. Pada intinya, ia mengatakan bahwa pemagaran adalah opsi yang terbaik untuk melindungi badak.
"Kalau tidak dipagari, kerbau bisa masuk. Kerbau ini punya kebiasaan yang sama dengan badak, yaitu berkubang. Kerbau yang masuk bisa membawa penyakit. Sekarang kita tahu ada penyakit Tripanosoma dan bahkan Tripanosoma badaki yang khusus menyerang badak," urai Widodo.
Pemagaran juga akan mengurangi ancaman lain, misalnya ancaman oleh spesies conspecific seperti banteng. Upaya mengurangi ancaman penting sebab populasi badak kini bahkan sudah mengalami penurunan sebesar 0,7% per tahun dan bila tak ditangani akan punah di akhir abad 21.
Widodo menampik kemungkinan pemagaran akan memfragmentasi hutan. Menurutnya, lalu lintas satwa masih bisa terjaga dengan adanya koridor yang dibangun. Ada pula tutupan kanopi yang menyambung sehingga primata bisa memakainya untuk melintas. Tinggi pagar listrik bagian bawah juga 40 cm sehingga satwa kecil masih bisa lewat.
"Soal perambahan, sudah ada perhatian dari pihak taman nasional. Selain itu juga sudah ada resort based management untuk bisa memantau. Untuk peruburuan, nanti akan ada pos di tiap koridor sehingga bisa dipantau. Kalau terbukti meningkatkan resiko perburuan, ya nanti tutup saja," urai Widodo.
Sementara soal merampas lahan 110 hektar, Widodo menegaskan bahwa lahan tersebut masuk dalam kawasan taman nasional. Dengan demikian, lahan itu berhak digunakan untuk kepentingan konservasi badak. "Kalau masyarakat merasa berhak atas lahan itu, kita pun berhak," cetus Widodo.
Widodo menegaskan, pemagaran dilakukan di area di luar Semenanjung Ujung Kulon. Ia juga mengatakan bahwa area baru yang digunakan untuk perluasan habitat badak itu merupakan bekas area yang dirambah. Area ini dianggap paling berpotensi sebagai habitat badak.