Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Hutan dari Ekspansi Kebun Sawit

Kompas.com - 30/05/2011, 04:41 WIB

Penelitian Sawit Watch menunjukkan hanya 12 spesies makhluk hidup yang dapat bertahan di perkebunan sawit. Lainnya disingkirkan karena dianggap hama. Orangutan dan gajah adalah yang paling sering dibunuh dan diracun karena dianggap mengganggu produksi. Adapun penggunaan herbisida dan pestisida berpotensi menghilangkan berbagai spesies.

Sayang, hal-hal itu diabaikan. Bahkan saat diangkat menjadi bahan diskusi, pemberi informasi kerap dituduh berupaya mencoreng muka pemerintah, tidak dianggap sebagai peringatan bahwa terlalu banyak yang hilang dari hutan Indonesia.

Saat ini ada 48,8 juta penduduk yang tinggal, hidup, dan bergantung pada ekosistem hutan (Kehati, 2010). Kerusakan hutan berdampak buruk bagi perekonomian masyarakat lokal. Jika sebelumnya sumber pangan bisa dengan mudah ditemukan, kini mereka harus mencari lebih jauh bahkan membeli bahan pangan dari luar sejak perkebunan sawit mengepung kampung mereka.

Keluarga peternak madu liar di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum yang sudah memperoleh sertifikat organik terancam, saat banyak pohon kegemaran lebah seperti masung, putat, dan kawi semakin sedikit karena berganti deretan pohon sawit.

Tak jarang lahan adat lengkap dengan sistem pangan dan sistem penunjang kehidupan lainnya di ubah menjadi perkebunan sawit tanpa ada izin dari masyarakat adat yang sudah mendiami wilayah itu turun-temurun.

Saat hal itu terjadi, pengetahuan adat tentang keanekaragaman hayati pun menghilang. Para penyimpan dan pelaksana pengetahuan tradisional berakhir menjadi orang pinggiran di perkebunan sawit.

Bukan sekadar tanam

Penanaman pohon adalah salah satu agenda ASEAN dalam peluncuran The Decade on Biodiversity and International Year of Forests pada 30 Mei 2011 di Filipina dan sepertinya akan banyak kegiatan serupa di banyak tempat.

Maka, jika pada saat yang sama perusakan hutan tidak juga dihentikan, upaya tanam pohon hanya akan seperti upaya Sisipus yang sia-sia: mendorong batu karang ke puncak gunung, tetapi selalu kembali bergulir ke bawah. Apalagi, tanam pohon juga tidak akan mengembalikan keanekaragaman hayati yang belum diketahui tetapi sudah musnah.

Sudah saatnya Hari Keanekaragaman Hayati Internasional dijadikan pijakan penting, bukan sekadar kegiatan seremonial belaka.

Hari Keanekaragaman Hayati bisa menjadi titik awal langkah untuk menjaga keanekaragaman hayati di hutan yang tersisa dengan cara mengembalikan hutan sebagai sumber keberlanjutan kehidupan, masa depan bagi ketersediaan pangan bangsa, dan apotek hidup dengan potensi obat-obatan yang belum terungkap.

Keragu-raguan untuk menjaga hutan, apalagi jika masih terlalu banyak alasan, hanya akan mempercepat hilangnya sumber kehidupan kita.

Ida Ronauli Anggota Aliansi untuk Desa Sejahtera

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com