Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Hutan dari Ekspansi Kebun Sawit

Kompas.com - 30/05/2011, 04:41 WIB

Oleh Ida Ronauli

Apa arti Hari Keanekaragaman Hayati Internasional yang ditetapkan PBB setiap 22 Mei bagi Indonesia? Tema ”International Year of Forest” malah jadi ironi karena luas hutan di Indonesia terus menyusut.

Indonesia berada pada urutan ke-8 dari 10 negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia (State of the World’s Forests, FAO 2007). Akan tetapi, dengan laju kerusakan hutan yang tergolong tinggi di dunia, tampaknya sulit bagi Indonesia untuk mempertahankan posisinya.

Hutan jadi kebun

Kementerian Kehutanan mencatat hingga 2009 kerusakan hutan mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahun. Dari 130 juta tinggal 43 juta yang masuk dalam kategori hutan alam.

Ekspansi perkebunan sawit menjadi salah satu penyebabnya. Selain Sumatera, hutan Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat, memiliki laju kerusakan yang tinggi akibat ekspansi ini.

Menarik jika mencermati, tahun ini juga bertepatan dengan 100 tahun usia perkebunan sawit di Indonesia. Dimulai dari perkebunan sawit pertama di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh dengan luas sekitar 5.000 hektar, kini luas sawit di Indonesia mencapai 9,4 juta hektar (Sawit Watch, 2010) hingga ke Merauke, Papua. Yang terus dijadikan alasan adalah sawit merupakan alternatif bahan bakar nabati baru untuk mengatasi krisis energi atau sumber pangan. Padahal, ini belum sepenuhnya dinikmati masyarakat Indonesia karena 80 persen minyak sawit mentah (CPO) untuk keperluan ekspor dan tak jarang minyak goreng sulit ditemukan di pasar.

Luas kebun sawit kian cepat dengan dukungan UU No 25/ 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No 18/2004 tentang Perkebunan yang memberi ruang luas bagi pemodal untuk mengembangkan perkebunan sawit.

Sawit adalah ”primadona” yang dianggap pemerintah dan perusahaan berperan sangat penting dalam perekonomian Indonesia, menyerap tenaga kerja, mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional dan devisa negara. Pada 2010, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, sawit menyumbang devisa 14,1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 122,7 triliun.

Pada saat yang sama perkebunan sawit mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati yang menopang kehidupan masyarakat lokal di sekitarnya.

Penelitian Sawit Watch menunjukkan hanya 12 spesies makhluk hidup yang dapat bertahan di perkebunan sawit. Lainnya disingkirkan karena dianggap hama. Orangutan dan gajah adalah yang paling sering dibunuh dan diracun karena dianggap mengganggu produksi. Adapun penggunaan herbisida dan pestisida berpotensi menghilangkan berbagai spesies.

Sayang, hal-hal itu diabaikan. Bahkan saat diangkat menjadi bahan diskusi, pemberi informasi kerap dituduh berupaya mencoreng muka pemerintah, tidak dianggap sebagai peringatan bahwa terlalu banyak yang hilang dari hutan Indonesia.

Saat ini ada 48,8 juta penduduk yang tinggal, hidup, dan bergantung pada ekosistem hutan (Kehati, 2010). Kerusakan hutan berdampak buruk bagi perekonomian masyarakat lokal. Jika sebelumnya sumber pangan bisa dengan mudah ditemukan, kini mereka harus mencari lebih jauh bahkan membeli bahan pangan dari luar sejak perkebunan sawit mengepung kampung mereka.

Keluarga peternak madu liar di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum yang sudah memperoleh sertifikat organik terancam, saat banyak pohon kegemaran lebah seperti masung, putat, dan kawi semakin sedikit karena berganti deretan pohon sawit.

Tak jarang lahan adat lengkap dengan sistem pangan dan sistem penunjang kehidupan lainnya di ubah menjadi perkebunan sawit tanpa ada izin dari masyarakat adat yang sudah mendiami wilayah itu turun-temurun.

Saat hal itu terjadi, pengetahuan adat tentang keanekaragaman hayati pun menghilang. Para penyimpan dan pelaksana pengetahuan tradisional berakhir menjadi orang pinggiran di perkebunan sawit.

Bukan sekadar tanam

Penanaman pohon adalah salah satu agenda ASEAN dalam peluncuran The Decade on Biodiversity and International Year of Forests pada 30 Mei 2011 di Filipina dan sepertinya akan banyak kegiatan serupa di banyak tempat.

Maka, jika pada saat yang sama perusakan hutan tidak juga dihentikan, upaya tanam pohon hanya akan seperti upaya Sisipus yang sia-sia: mendorong batu karang ke puncak gunung, tetapi selalu kembali bergulir ke bawah. Apalagi, tanam pohon juga tidak akan mengembalikan keanekaragaman hayati yang belum diketahui tetapi sudah musnah.

Sudah saatnya Hari Keanekaragaman Hayati Internasional dijadikan pijakan penting, bukan sekadar kegiatan seremonial belaka.

Hari Keanekaragaman Hayati bisa menjadi titik awal langkah untuk menjaga keanekaragaman hayati di hutan yang tersisa dengan cara mengembalikan hutan sebagai sumber keberlanjutan kehidupan, masa depan bagi ketersediaan pangan bangsa, dan apotek hidup dengan potensi obat-obatan yang belum terungkap.

Keragu-raguan untuk menjaga hutan, apalagi jika masih terlalu banyak alasan, hanya akan mempercepat hilangnya sumber kehidupan kita.

Ida Ronauli Anggota Aliansi untuk Desa Sejahtera

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com