Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biarkan Warga Menjaga

Kompas.com - 20/05/2011, 04:39 WIB

Melibatkan warga

Apa yang dikhawatirkan Rudolf sangat bisa dipahami oleh Direktur Program WWF Papua Benja Mambai. Karena itu, pihaknya ingin program REDD+ digulirkan berbasis pada prinsip berkelanjutan. Yang tak kalah penting adalah sikap tidak memaksakan kehendak dan menghormati apa pun keputusan masyarakat adat.

Saat ini di Papua, WWF sedang membangun kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk program REDD+, meliputi kawasan hutan seluas 450.000 hektar yang tersebar di Kecamatan Urunum Guay, Yapsi, dan Kaure di Kabupaten Jayapura.

Dengan bantuan dari ahli pemetaan geografi dari Universitas Gadjah Mada dan ahli antropologi dari Universitas Indonesia, WWF Papua menyimpulkan hutan di wilayah itu memiliki potensi karbon yang cukup.

”Kami menyimulasikan, jika per ton per hektar karbon dihargai sebesar 4 dollar AS, dengan asumsi 25 persen digunakan sebagai asuransi, maka setiap tahun masyarakat akan menerima hasil sebesar Rp 12 miliar. Itu baru hitungan di atas kertas,” kata Benja.

”Untuk REDD, yang terutama adalah penguatan masyarakat, terutama dalam mengelola dana yang diperoleh. Lebih dari itu, jika dalam proyek itu diadakan kontrak, rakyat sebaiknya tidak melepaskan hak kepemilikan atas lahan itu,” kata Lindon Pangkali dari Foker LSM Papua.

Melibatkan masyarakat setempat memang merupakan isu utama pelaksanaan REDD+. Oleh karena itu, Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah— yang provinsinya terpilih menjadi percontohan program REDD+—ingin memberdayakan para damang (ketua adat) untuk memahami hal ini. ”Kendalanya adalah mengubah paradigma masyarakat dari menebang menjadi memelihara,” kata Teras.

Jika berhasil menjaga hutan di sekitarnya, warga akan memberikan kompensasi, selain menyediakan pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Selain itu, kata Teras, mereka tidak dilarang masuk dan mengakses hutan yang ada, termasuk untuk keperluan bertani dan memelihara ikan.

Akan tetapi, menurut Arie Rompas, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, kompensasi bagi warga sekitar hutan masih belum jelas. Mereka hanya mendengar bahwa bentuk kompensasinya adalah uang tunai.

Yang mengkhawatirkan sebetulnya justru keterlibatan pihak swasta dengan kepentingan warga. ”Jangan sampai keberadaan program ini justru menutup akses masyarakat yang terbiasa memanfaatkan sumber daya di sekitarnya. Jangan sampai masyarakat terpinggirkan,” kata Arie.

Bagi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan, sebetulnya mudah melaksanakan REDD+. Caranya adalah menjadikan masyarakat adat sebagai penyelenggara, mengingat hutan alam—termasuk lahan gambut—di Republik ini sebagian besar merupakan wilayah adat.

”Jadi, tinggal pemerintah melindungi dan mengakui masyarakat adat, serta menyerahkan kepada mereka untuk merawat hutan. Dengan pengetahuan tradisional dan ajaran leluhur yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun, masyarakat adat pasti bisa menjaganya. Itulah yang mereka lakukan selama ini sebelum hutan diserahkan pemerintah kepada pengusaha kelapa sawit dan perusak hutan,” tegas Abdon. ”Masyarakat adat harus dilihat sebagai solusi, bukan sumber masalah.” (jos/wer/fit)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com