Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biarkan Warga Menjaga

Kompas.com - 20/05/2011, 04:39 WIB

Lokasinya nun jauh di hutan lindung Juma yang masuk wilayah Amazon, Brasil. Di areal seluas 589 hektar hutan lebat itu, setiap keluarga menerima 50 dollar AS (Rp 430.000) sebulan. Untuk uang sebesar itu, mereka berjanji tidak menebang atau membakar pohon.

Skema Juma— yang pertama kali bergulir tahun 2008—ini praktis menjadi model strategi global untuk mempertahankan keutuhan hutan dengan mengurangi emisi karbon. Inilah bentuk jual-beli antara masyarakat negara maju dan negara berkembang. Rakyat di Juma dibayar perusahaan swasta dari negara-negara kaya untuk tidak membabat hutan.

Salah satu yang terlibat dalam skema yang disebut Programa Bolsa Floresta itu adalah jaringan hotel ternama Marriott. Selain mendonasikan 2 juta dollar AS, mereka juga mengutip 1 dollar AS per malam dari tamunya untuk penduduk yang tinggal di hutan itu. Kalkulasinya, dana yang ditebar ”pembeli”—hotel, perbankan, dan pasar swalayan—ke proyek Juma hingga tahun 2050 bisa mencegah pembalakan hutan sampai 62 persen. Ini bisa menghemat pelepasan karbon sampai 210.000 ton.

Bisakah skema ini menjamin keadilan dan membawa manfaat, terutama bagi masyarakat yang menghuni hutan itu, yang secara turun-temurun hidup dari manfaat hutan? Jawabannya berpulang kembali kepada para pihak, terutama pemerintah setempat dan lembaga pembeli karbon. Sejauh mana niat mereka terlibat dalam upaya global mengurangi emisi karbon?

Bagi Rudolf Boriam, warga Kampung Wembi, Kabupaten Keerom, Papua, niat baik pemerintah tak tampak. Puluhan tahun lalu, terutama awal tahun 1980-an, banyak hutan adat di kawasan itu diambil alih oleh pemerintah dan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Walhasil, 45.000 hektar hutan di kampungnya kini telah berpindah kepemilikan.

Pada April lalu, dinas kehutanan provinsi datang lagi. Kali ini mereka hendak mengukur hutan adat warga yang berada di timur kampung, persis di pinggir perbatasan dengan Papua Niugini seluas 36.000 hektar. Kabarnya, hutan itu hendak dijadikan sebagai hutan lindung.

”Kali ini kami tidak mengizinkan. Kalau mau jadi hutan lindung, biar kami sendiri yang melindunginya. Apalagi di hutan itu ada tempat keramat, yang kami percayai sebagai tempat di mana suku kami, suku Manem, bermula,” kata Rudolf.

Dari kacamata budaya, penolakan warga Wembi dapat dipahami. Bagi mereka, hutan tidak hanya menjadi sumber hidup, tetapi juga bagian integral dalam sejarah keberadaan mereka. ”Tiap wilayah telah dibagi oleh nenek moyang kami kepada masing-masing marga. Hutan yang dibagi-bagi itu menjadi jaminan hidup bagi masing-masing marga,” kata Rudolf.

Dari hutan itu mereka mendapat buah-buahan, rotan, dan kayu. Mereka percaya, ketika hutan itu dilepaskan, lepas pula ikatan itu dan mereka akan menerima hukuman. Fakta bahwa beberapa kelompok masyarakat asli di Keerom jatuh miskin—setelah hutan yang mereka miliki dilepaskan kepada pemerintah untuk dijadikan kebun kelapa sawit—menjadi bukti dari terpenggalnya relasi itu.

Tak heran, soal REDD+, mereka pun menanggapinya dingin. ”Biar kami sendiri yang menjaga hutan kami,” kata Rudolf.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com