Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyamakan Visi REDDplus

Kompas.com - 20/05/2011, 04:38 WIB

Tidak tegasnya pPenegakan hukum juga menjadi masalah selain lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pengelolaan hutan produksi, misalnya, sepenuhnya dilakukan pemegang izin usaha dengan pengawasan sangat lemah oleh pemerintah. Sementara interpretasi tak sinkron atas Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang membuka peluang deforestasi. Hal itu membuat ketidakpastian berusaha.

Peneliti kebijakan kehutanan dari Center for International Forestry Research, Daju Resosudarmo, berpendapat, sampai hari ini pengaturan REDD+ Indonesia belum jelas dalam kontrol dan intervensi program.

Untungnya REDD+ menerapkan skema kompensasi hanya bila persyaratan dipenuhi. Keberhasilan kinerja para pihak indikatornya adalah pendapatan masyarakat berkait hutan, persepsi atas penguasaan lahan, perubahan ketergantungan pada hutan, dan pengetahuan masyarakat tentang REDD+. ”Pertanyaannya, siapa harus bertanggung jawab agar proyek tetap berjalan bila tenurial tidak jelas,” kata Daju.

Isu manfaat

Isu sensitif lain adalah manfaat REDD+. Menurut Agus Purnomo, dalam kesepakatan LoI dengan Norwegia, pada tahun pertama disyaratkan pembentukan kelembagaan dan tahap kedua adalah proyek panduan oleh Satgas untuk semua kelembagaan. Kalimantan Tengah sudah ditetapkan sebagai proyek panduan REDD+.

Karena negara belum siap dengan perangkat penghitungan penurunan emisi, pelaksanaan dilakukan di provinsi dan kabupaten, lalu dihitung secara nasional. ”Yang dapat menekan deforestasi dan degradasi hutanlah yang menerima uang,” kata Agus. ”Tetapi, Satgas belum menyusun siapa menerima berapa dan bagaimana prosedurnya.”

Skema REDD+ tersebut menimbulkan kekhawatiran munculnya pihak-pihak yang menguasai lahan untuk dijadikan sumber daya. ”Harus jelas ke mana dan siapa menikmati manfaat. Konflik akan terjadi ketika negara merasa lahan itu miliknya, sementara masyarakat merasa punya hak,” kata Daju.

Di atas kertas, skema REDD+ menjanjikan manfaat finansial dan kesempatan untuk Indonesia memperbaiki kerusakan hutan seraya menurunkan emisi gas rumah kaca.

Di lapangan akan berhadapan dengan persoalan akut kehutanan, termasuk praktik kolutif yang mendegradasi hutan dan lingkungan dan pengalaman masa lalu dalam pemanfaatan Dana Reboisasai. Kemungkinan lain, muncul suara yang menyamakan REDD+ dengan taktik negara atau bisnis dari negara kaya mendikte negara berkembang karena takut kalah bersaing. (NMP/HAR/DOT/ISW/ITA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com