WAKATOBI, KOMPAS.com - Mengarungi perairan Pulau Kaledupa dan Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi, tali-tali sepanjang ratusan meter yang merangkai bibit rumput laut dengan mudah dijumpai. Bibit yang terangkai dengan tali itu menjadi simbol harapan hidup, tak cuma bagi masyarakat lokal tetapi juga bagi ekosistem laut.
Bagi Saridi, warga Derawa, misalnya, rumput laut kini menjadi sumber penghasilan utama. Dari rumput laut, Saridi bisa menyekolahkan keempat anaknya. "Satu anak saya sekarang kuliah di Makassar. Yang lain masih SMP dan SD. Bayar biaya sekolah dari rumput laut ini. Sekali panen rumput laut bisa dapat 500 kg sampai 1 ton. Kita jual ke Bau-Bau biasanya, harganya Rp 8.000 per kg," tuturnya.
Rumput laut dijual setelah dikeringkan secara alami selama 3-4 hari menggunakan sinar matahari. Dari Bau-bau, rumput laut akan dikirim ke Surabaya. Ketua Forum Kaledupa Taudani (Forkani) La Beloro menuturkan rumput laut biasanya panen setelah 45 hari. Kalau sudah dijemur nanti ada pengumpul yang menampung.
Dari rumput laut, uang yang dihasilkan bahkan lebih tinggi dari hasil penangkapan ikan. Budidaya rumput laut di Wakatobi dijalankan sepanjang tahun. Namun, warga mengaku bahwa saat terbaik untuk penanaman adalah saat musim timur. Pada saat itu, panen bisa lebih besar dan dikeringkan dalam waktu cepat. Kala musim barat, biasanya jumlah hasil panen menurun.
Untuk membudidayakan rumput laut, warga menggunakan wilayah laut yang sesuai. Setiap warga memiliki area menanam sendiri yang diklaim menjadi hak milik berdasarkan siapa yang memakainya terlebih dahulu. Warga biasanya menentukan area dengan melihat arus dan adanya lamun. Saat ini, beberapa warga mengaku bahwa lahan budidaya sudah penuh.
"Kalau orang baru mau menanam sudah susah. Bisa juga beli tapi mahal, bisa 7 juta untuk satu area," kata Saridi.
Cara lain, warga bisa minta ijin atau sewa di area orang lain, namun biasanya tak diijinkan untuk menanam dalam jumlah banyak. Rumput laut sebenarnya sudah dibudidayakan masyarakat Wakatobi sejak lebih dari 10 tahun lalu. Namun, saat dipandang belum menjanjikan, banyak warga masih menggantungkan pada hasil penangkapan ikan. Tak jarang, praktek penangkapan yang merusak dilakukan untuk meningkatkan pendapatan.
"Dulu kita banyak pakai bom dan bius," ungkap Beloro.
Juvenile ikan atau ikan yang belum dewasa kadang juga ditangkap sehingga akhirnya nelayan sulit mendapat ikan. "Pada tahun 2004, kita merasa hampir tidak ada ikan," lanjut Beloro.
Sebuah survei pada tahun 2007-2010 juga menyebut bahwa 80 persen ikan tangkap adalah juvenile. Praktek perusakan lingkungan yang sebelumnya juga marak adalah penambangan karang. Koordinator Progran WWF Wakatobi Sugiyanta mengatakan, "Beberapa tahun kemarin sempat teridentifikasi 72 penambang. Dari jumlah tersebut, 30 di antaranya murni penambang, sementara yang lain hanya sampingan."