Sementara Brasil terus berupaya memerangi deforestasi dan menerapkan targetnya pada tahun 2020. Demikian pula Afrika Selatan, bakal tuan rumah Pertemuan Para Pihak Ke-17 (COP-17) Kerangka Kerja PBB atas Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), sudah merancang program penurunan emisinya. Belum lagi Indonesia yang tahun lalu berjanji mengurangi emisi GRK hingga 26 persen pada 2020—walau rincian programnya belum dipublikasikan.
Sejalan dengan aksi sukarela tersebut, Presiden Meksiko Felipe Calderon pada hari pertama COP-16 UNFCCC menyatakan sikap tegasnya. Dunia harus berjalan terus ”dengan atau tanpa China dan Amerika Serikat”—keduanya adalah
Sejak diratifikasinya Protokol Kyoto pada 1997 oleh 147 negara—minus China dan AS—pertentangan kepentingan kedua negara terus menjadi penghambat kesepakatan global.
AS menolak kewajiban mengurangi emisi dengan alasan akan memperlambat pertumbuhan ekonominya, sementara di sisi lain akan mendorong pertumbuhan ekonomi China dan India. Sementara China dan India beralasan masih miskin sehingga perlu meningkatkan pembangunan untuk pertumbuhan ekonominya.
Selama ini muncul persepsi bahwa ancaman pemanasan global akan bisa diselesaikan jika AS ”memimpin” dunia untuk bergerak. Pertarungan melawan pemanasan global disetarakan dengan Perang Dunia II saat AS memimpin negara-negara Sekutu.
Calderon menepis persepsi tersebut.
”Jika tidak bisa mendapatkan komitmen mereka, apa perlu menunggu 10 tahun atau lima tahun atau 20 tahun lagi untuk mengawali langkah? Kita harus memulainya dengan atau tanpa mereka dan mari kita mulai dengan memberikan contoh dari diri sendiri ke mana kita menuju,” ujar Calderon. Meksiko berencana meninggalkan puluhan juta bohlam lampu dan menggantinya dengan lampu hemat energi.