Hampir setiap hari ia bolak-balik sejauh 74 kilometer menggunakan motor dari rumah ke sekolahnya
Ia bercerita, tidak jarang ia sampai terluka akibat terjatuh dari motor. Pernah suatu ketika dia dicari warga sekampung karena tidak pulang hingga malam hari.
”Kebetulan motor saya rusak, pas di tengah hutan pula. Untungnya ada yang
Semangat untuk memajukan pendidikan di kampungnya juga mendorong Ramayani berbuat hal yang lebih. Ketika SMP Satu Atap berdiri di SDN 25 pada 2007, ia dan sejumlah rekannya sesama guru nekat melakukan hal tidak lazim.
Mereka bepergian, berkeliling ke dusun-dusun terpencil di Pagai Selatan untuk ”jemput bola”, mengajak anak-anak usia wajib pendidikan dasar bersekolah di sekolah satu atap itu. ”Eh, sayangnya hanya dapat delapan (siswa). Kebanyakan tidak mau karena di sekolah tidak ada asrama,” ujarnya.
Ia bercerita, saat berkeliling mencari siswa ataupun menjalani tugas sebagai guru, tidak jarang dirinya terpaksa berjalan kaki menyusuri pantai dan bukit hingga belasan kilometer ke kampung-kampung terpencil. Pengalaman mengikuti kegiatan kepencintaalaman saat kuliah di ASKI sangat menolongnya menekuni profesi guru di daerah terpencil.
Namun, satu hal terpenting yang membuatnya terdorong melakukan itu. ”Anak-anak Mentawai tidak boleh kalah pendidikannya dibandingkan anak di daerah lain. Apa tidak iri, anak-anak dari daerah lain bisa jadi pejabat tinggi,” ujar Ramayani.