Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dedikasi untuk Pelosok Mentawai

Kompas.com - 26/11/2010, 03:36 WIB

”Yang tidak punya saudara terpaksa tinggal sendiri, kadang bareng rekan-rekannya. Mereka masak sendiri, nyuci sendiri. Terkadang makan seadanya. Pisang yang direbus atau nasi pakai gula. Inilah yang membuat saya sedih,” ujar wali kelas VI di SDN 25 Malakopak ini.

Untuk itu, saat memberikan les seusai pelajaran sekolah, tak jarang ia menyisihkan bekalnya bagi anak-anak yang tinggal ”indekos” ini. Mencoba memberikan solusi, beberapa kali ia ”berteriak” kepada pemerintah daerah agar membangun segera asrama di sekolah.

Berkat dorongannya, pemda setempat pun mulai terbuka. Mereka berencana membangun asrama di dekat SDN 25 meski sampai sekarang belum terwujud.

Bagi Ramayani, menekuni profesi sebagai guru di daerah terpencil di kampung halamannya adalah ”panggilan”. Ibu empat anak kelahiran Mentawai ini sempat bekerja di Jakarta setelah lulus kuliah di Akademi Seni Karawitan (ASKI) Padang Panjang pada 1996.

Ia sempat bekerja di sebuah produsen makanan terbesar di Tanah Air. Namun, ini tidak berlangsung lama. Seiring terjadinya kerusuhan massal pada 1998, ia memutuskan kembali ke Mentawai. Di kampung halamannya, Ramayani lalu mencoba menekuni profesi sebagai guru.

Dua tahun menjadi guru honorer, Ramayani diangkat menjadi guru CPNS pada 2000. Berbagai kisah dialaminya saat menekuni karier sebagai guru di sekolah terpencil ini. Pada 2005, ia menyaksikan peristiwa mengerikan ketika sekolahnya dan tempat tinggalnya—rumah dinas guru-guru—dijarah warga setempat.

”Semua habis. Buku-buku, perlengkapan, bahkan sampai tiang bendera, dijarah,” kenangnya. Peristiwa ini terjadi menyusul bangkrutnya perusahaan pengolah kayu PT Minas Pagai Lumber Corporation (PT MPLC) yang mendanai pendirian SDN 25 tempat dia mengabdi.

Di tengah hutan

Bahkan, menyusul bangkrutnya PT MPLC, suaminya ketika itu turut terkena pemutusan hubungan kerja. Subsidi dana untuk pengembangan sekolah pun dihentikan dari perusahaan. Siswa-siswa yang dahulunya mayoritas pendatang, anak-anak karyawan, pun angkat kaki. Yang tersisa hanya siswa-siswa warga asli.

”Sekolah kami dahulu sempat menjadi yang nomor satu di Mentawai. Tetapi, sejak itu kian tertinggal,” tuturnya. Namun, hal ini tidak menurunkan semangatnya. Meski tidak lagi mendapatkan berbagai fasilitas, misalnya rumah dinas, ia tetap bergairah mengajar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com