Oleh Yulvianus Harjono
Terkadang menumpang perahu yang disewa relawan, tidak jarang ia pergi mengajak putranya menyusuri dusun-dusun di Pulau Pagai Selatan bersepeda motor. Ketika tidak ada jalan lagi, ia pun berjalan kaki, menyusuri muara dan meniti jalan setapak di bukit-bukit.
”Saya harus memastikan ada atau tidak siswa yang jadi korban (tsunami). Lantas, bagaimana kondisi mereka sekarang,” ujar Ramayani ihwal dirinya yang rela bersusah payah dan menanggung banyak risiko saat
Ramayani adalah guru yang sehari-hari mengajar di SDN dan SMPN Satu Atap 25 di Malakopak, Pulau Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Memang tidak ada seorang pun siswanya yang tewas menjadi korban tsunami. Namun, dua di antaranya kini menjadi yatim piatu. Sementara sebagian besar tiba-tiba menjadi pengungsi, rumah-rumah mereka hancur.
Kondisi ini membuat dia kian miris. Jangankan akibat bencana, pada saat normal saja tak mudah baginya mengajak siswa-siswanya yang mayoritas orang Mentawai asli untuk tetap semangat bersekolah.
”Makanya, saat ke dusun-dusun, saya mencoba menemui para orangtua mereka,” ujarnya. Sambil membesarkan hati agar tetap tegar menghadapi bencana, Ramayani meminta mereka tetap maju, mengajak anak-anak tetap sekolah demi masa depan mereka.
Rendahnya tingkat pendidikan dan aksesibilitas adalah persoalan pelik yang dihadapi masyarakat di daerah pelosok Mentawai, misalnya di Kepulauan Pagai. Siswa di sini rata-rata hanya berpendidikan hingga SD. Bayangkan, dari ratusan ribu hektar luas wilayah Kepulauan Pagai, hanya ada beberapa SMP dan hanya ada satu SMA.
Tidak sedikit siswa, terutama siswa SMP, yang terpaksa ”indekos”, tinggal di gubuk-gubuk buatan, tanpa air bersih, apalagi listrik. Anak-anak kecil ini pun terpaksa hidup mandiri, terpisah dari orangtuanya. Siswa-siswanya antara lain berasal dari Dusun Asahan, Purorogat, Merak Batu, dan Mapoupou yang berjarak puluhan hingga ratusan kilometer dari sekolah.