Manusia ternyata sama saja dengan kucing, tetapi kucing bergerak berdasarkan naluri. Oleh karena itu, manusia bahkan lebih buruk dari kucing.
Dalam penampilannya kali ini, Butet bersama timnya antara lain Whani Darmawan selaku sutradara dan Agus Noor selaku penulis mencoba menampilkan sesuatu yang berbeda dari monolog Butet sebelumnya. Dalam catatannya, Whani mengatakan bahwa Butet mencoba untuk tampil realis.
Butet tampak piawai menghadirkan tokoh-tokoh lain dalam lakon ini lewat percakapan dengan sepatu, seakan-akan sepatu itu adalah istrinya. Ia juga menciptakan sosok kucing dengan memanfaatkan kain lap.
Lakon Kucing dipilih karena temanya sederhana dan tidak politis. Lakon ini bertutur tentang masalah sehari-hari, mulai dari konflik internal rumah tangga, metode membesarkan anak, hingga bertetangga. Lewat kehadiran seekor kucing kelaparan, watak asli tokoh-tokoh dalam lakon ini muncul.
Meski demikian, Butet agaknya tetap tidak bisa meninggalkan cirinya yang kerap mengangkat isu sosial dan politik. Dalam monolog ini, omongannya tetap menyentil sana sini. Mulai dari koruptor sampai Ketua DPR. Mulai dari singkong kebun sendiri hingga bebek goreng penganut neoliberalisme.