Kehadiran seekor kucing ternyata bisa menimbulkan persoalan pelik yang menjengkelkan. Namun, kehadiran seekor kucing juga mengungkapkan sifat dasar manusia dalam menjalani remeh-temeh kehidupan sehari-hari.
Kisah kucing menyebalkan itu ditampilkan raja monolog Butet Kartaredjasa, Rabu (3/11) malam di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Lakon monolog ini diangkat dari cerpen karya Putu Wijaya.
Selama sekitar satu jam di atas panggung, Butet membangun alur cerita persis seperti dalam cerpen. Pada suatu sore di bulan Ramadhan, seorang laki-laki pulang dari kerja. Lelah dan lapar, ia kecewa mendapati rumahnya kosong tak berpenghuni.
Sambil termangu di depan pintu, ia ingat pertengkaran semalam dengan istrinya. Ia ingat, pertengkaran itu sebenarnya selalu dipicu oleh persoalan sepele yakni tentang urusan ranjang.
Mendengar adzan magrib bergema, lelaki itu menyudahi lamunannya dan segera masuk ke rumah untuk membatalkan puasa. Namun, saat membuka tudung saji di atas meja makan, ia hanya menemui setangkai mawar dalam vas bunga.
Pada saat itulah ia mendengar suara kucing. Kucing itu membimbingnya ke arah lemari dan seperti memintanya membuka pintu lemari itu. Dan benar saja, di dalam lemari itu ternyata ada ayam rica-rica yang buatan istrinya. Tentu makanan lezat itu sengaja disiapkan untuknya.
Namun, kucing itu rupanya lebih sigap. Maka dalam hitungan detik, sepotong daging ayam telah berpindah ke mulutnya. Lelaki itu sangat marah. Ia memukul kucing itu sampai
Keesokan harinya, Pak RT yang bergelar haji datang menyerahkan kuitansi biaya pengobatan kucing. Lelaki itu terpaksa membayar biaya pengganti demi menjaga kerukunan dengan tetangga.
Namun, masalah kucing ternyata tak berhenti di situ. Kucing itu menjadi semacam teror bagi keluarganya. Hari-hari lelaki itu seperti didedikasikan untuk memantau kehadiran sang kucing. Ia merancang berbagai strategi untuk menghadang kehadiran kucing itu di rumahnya.
Bahkan, saat kucing itu akhirnya mati terlindas mobil pemiliknya, teror tetap datang. Lelaki itu kembali disodori kuitansi ganti rugi oleh pak RT.
Manusia ternyata sama saja dengan kucing, tetapi kucing bergerak berdasarkan naluri. Oleh karena itu, manusia bahkan lebih buruk dari kucing.
Dalam penampilannya kali ini, Butet bersama timnya antara lain Whani Darmawan selaku sutradara dan Agus Noor selaku penulis mencoba menampilkan sesuatu yang berbeda dari monolog Butet sebelumnya. Dalam catatannya, Whani mengatakan bahwa Butet mencoba untuk tampil realis.
Butet tampak piawai menghadirkan tokoh-tokoh lain dalam lakon ini lewat percakapan dengan sepatu, seakan-akan sepatu itu adalah istrinya. Ia juga menciptakan sosok kucing dengan memanfaatkan kain lap.
Lakon Kucing dipilih karena temanya sederhana dan tidak politis. Lakon ini bertutur tentang masalah sehari-hari, mulai dari konflik internal rumah tangga, metode membesarkan anak, hingga bertetangga. Lewat kehadiran seekor kucing kelaparan, watak asli tokoh-tokoh dalam lakon ini muncul.
Meski demikian, Butet agaknya tetap tidak bisa meninggalkan cirinya yang kerap mengangkat isu sosial dan politik. Dalam monolog ini, omongannya tetap menyentil sana sini. Mulai dari koruptor sampai Ketua DPR. Mulai dari singkong kebun sendiri hingga bebek goreng penganut neoliberalisme.