Oleh FX WIKAN INDRARTO
Seperti telah diketahui, penyakit paru kronis telah menyebabkan sekitar 7 persen dari semua kematian di seluruh dunia dan merupakan 4 persen dari beban penyakit secara global. Selain itu, penyakit paru mengenai banyak orang di setiap negara dan pada setiap kelompok sosial ekonomi, tetapi orang dalam kelompok miskin, tua, dan lemah menjadi korban terberat. Beban biaya penyakit paru telah mencapai miliaran dollar setiap tahun dan menimbulkan kehilangan produktivitas, dan pada anak telah menghilangkan banyak kesempatan bermain dan bersekolah.
Penggunaan tembakau tetap berjalan, meskipun terbukti telah membunuh lebih dari 5 juta orang setiap tahun, termasuk 1,3 juta yang meninggal karena kanker paru-paru, dan itu memengaruhi kesehatan ratusan ribu lainnya yang terkena dampaknya sebagai perokok pasif. Tidak ada obat baru yang ditemukan dan dikembangkan untuk TBC di lebih dari lima dekade terakhir; dan meskipun vaksin BCG telah berumur hampir satu abad, namun ada lebih dari sembilan juta kasus baru TBC di tahun 2007, yang tidak dapat dicegah dengan vaksin tersebut. Di samping itu, meskipun penyakit TBC ini dapat disembuhkan, tetap saja merupakan penyebab mortalitas dan membunuh 1,7 juta orang setiap tahun.
Pneumonia atau infeksi
Demikian juga, meskipun diramalkan akan menjadi penyebab utama kematian ke-3 di seluruh dunia pada tahun 2020, COPD (penyakit paru kronis lainnya) justru sering tidak terdiagnosis dengan benar. Yang terakhir, hampir setengah dari penduduk dunia hidup di atau dekat daerah dengan kualitas udara yang buruk, termasuk para pengungsi letusan Gunung Merapi yang telah mengeluarkan abu vulkanik.
Informasi lebih lanjut tentang ”2010 Year of the Lung” dapat mengakses www.2010yearofthelung.org. Kegiatan advokasi
Pneumonia adalah infeksi akut jaringan paru-paru. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan pneumonia sebagai masalah kesehatan masyarakat hanya berdasarkan penemuan klinis, tidak perlu berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang medis yang canggih, meskipun merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Insidensi di negara berkembang 10-20 kasus per 100 anak per tahun dan dilaporkan dapat menyebabkan kematian pada lima juta anak balita per tahun di negara berkembang. Bakteri, virus, dan jamur dapat menjadi penyebab pneumonia, dan bakteri tersering adalah Streptococcus pneumoniae yang menyerang semua kelompok umur, sedangkan virus RSV (Respiratory Syncytial Virus) merupakan penyebab tersering pada anak di bawah tiga tahun. Faktor risiko terjadinya pneumonia pada anak meliputi cacat bawaan, gangguan kekebalan, polusi, termasuk debu vulkanik Gunung Merapi, tersedak atau aspirasi, gizi buruk, bayi kecil (BBLR), tidak mendapat ASI, imunisasi tidak lengkap, dan tinggal di rumah atau barak pengungsian yang terlalu padat.
Gejala klinis pneumonia meliputi batuk, dari kering menjadi berdahak, sesak napas, demam, sulit menyusu atau makan, tampak lemah dan merupakan serangan pertama (untuk membedakan dengan asma yang cenderung terjadi berulang). Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang dikeluarkan WHO menyebutkan diagnosis pneumonia cukup dengan ”tanya, lihat dan dengar” sehingga tidak sulit dilakukan oleh petugas kesehatan di pelosok dan barak pengungsian, bahkan oleh orangtua anak. Tanyakan adanya batuk dan atau sukar bernapas. Lihat/dengar: hitung napas 1 menit, adakah tarikan dinding dada, dan dengar suara stridor saat anak tenang (tidak menangis atau memberontak)