Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pneumonia dan Merapi

Kompas.com - 04/11/2010, 04:59 WIB

Oleh FX WIKAN INDRARTO

Tahun 2010 ini ditetapkan sebagai Tahun Paru (Year of the Lung) oleh The Forum of International Respiratory Societies yang disepakati oleh American Thoracic Society, European Respiratory Society, American College of Chest Physicians, Asian Pacific Society of Respirology, Asociación Latinoamericana del Tórax, Pan-African Thoracic Society, dan International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases pada Konferensi Kesehatan Paru Dunia Ke-40 di Cancún, Meksiko, pada 6 Desember 2009.

Seperti telah diketahui, penyakit paru kronis telah menyebabkan sekitar 7 persen dari semua kematian di seluruh dunia dan merupakan 4 persen dari beban penyakit secara global. Selain itu, penyakit paru mengenai banyak orang di setiap negara dan pada setiap kelompok sosial ekonomi, tetapi orang dalam kelompok miskin, tua, dan lemah menjadi korban terberat. Beban biaya penyakit paru telah mencapai miliaran dollar setiap tahun dan menimbulkan kehilangan produktivitas, dan pada anak telah menghilangkan banyak kesempatan bermain dan bersekolah.

Penggunaan tembakau tetap berjalan, meskipun terbukti telah membunuh lebih dari 5 juta orang setiap tahun, termasuk 1,3 juta yang meninggal karena kanker paru-paru, dan itu memengaruhi kesehatan ratusan ribu lainnya yang terkena dampaknya sebagai perokok pasif. Tidak ada obat baru yang ditemukan dan dikembangkan untuk TBC di lebih dari lima dekade terakhir; dan meskipun vaksin BCG telah berumur hampir satu abad, namun ada lebih dari sembilan juta kasus baru TBC di tahun 2007, yang tidak dapat dicegah dengan vaksin tersebut. Di samping itu, meskipun penyakit TBC ini dapat disembuhkan, tetap saja merupakan penyebab mortalitas dan membunuh 1,7 juta orang setiap tahun.

Pneumonia atau infeksi paru telah membunuh lebih dari dua juta anak balita setiap tahun, yang berarti 1 anak setiap 15 detik, meskipun sebenar- nya penyakit ini dapat diobati secara efektif dan relatif murah. Data lain menunjukkan, seba- gian besar dari 250.000 kasus kematian akibat serangan asma berat setiap tahun, sangat mungkin disebabkan karena kurangnya penatalaksanaan yang tepat.

Demikian juga, meskipun diramalkan akan menjadi penyebab utama kematian ke-3 di seluruh dunia pada tahun 2020, COPD (penyakit paru kronis lainnya) justru sering tidak terdiagnosis dengan benar. Yang terakhir, hampir setengah dari penduduk dunia hidup di atau dekat daerah dengan kualitas udara yang buruk, termasuk para pengungsi letusan Gunung Merapi yang telah mengeluarkan abu vulkanik.

Informasi lebih lanjut tentang ”2010 Year of the Lung” dapat mengakses www.2010yearofthelung.org. Kegiatan advokasi dalam tahun 2010 ini meliputi ”World TB Day” pada 24 Maret, ”World Asthma Day” pada 4 Mei, ”World No Tobacco Day” pada 31 Mei, ”Immunization Awareness Month” sepanjang Agustus, ”Child Health Day” pada 4 Oktober, ”World Spirometry Day” pada 14 Oktober, ”World Pneumonia Day” pada 12 November, dan yang terakhir ”World COPD Day” pada 17 November 2010.

Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi akut jaringan paru-paru. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan pneumonia sebagai masalah kesehatan masyarakat hanya berdasarkan penemuan klinis, tidak perlu berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang medis yang canggih, meskipun merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Insidensi di negara berkembang 10-20 kasus per 100 anak per tahun dan dilaporkan dapat menyebabkan kematian pada lima juta anak balita per tahun di negara berkembang. Bakteri, virus, dan jamur dapat menjadi penyebab pneumonia, dan bakteri tersering adalah Streptococcus pneumoniae yang menyerang semua kelompok umur, sedangkan virus RSV (Respiratory Syncytial Virus) merupakan penyebab tersering pada anak di bawah tiga tahun. Faktor risiko terjadinya pneumonia pada anak meliputi cacat bawaan, gangguan kekebalan, polusi, termasuk debu vulkanik Gunung Merapi, tersedak atau aspirasi, gizi buruk, bayi kecil (BBLR), tidak mendapat ASI, imunisasi tidak lengkap, dan tinggal di rumah atau barak pengungsian yang terlalu padat.

Gejala klinis pneumonia meliputi batuk, dari kering menjadi berdahak, sesak napas, demam, sulit menyusu atau makan, tampak lemah dan merupakan serangan pertama (untuk membedakan dengan asma yang cenderung terjadi berulang). Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang dikeluarkan WHO menyebutkan diagnosis pneumonia cukup dengan ”tanya, lihat dan dengar” sehingga tidak sulit dilakukan oleh petugas kesehatan di pelosok dan barak pengungsian, bahkan oleh orangtua anak. Tanyakan adanya batuk dan atau sukar bernapas. Lihat/dengar: hitung napas 1 menit, adakah tarikan dinding dada, dan dengar suara stridor saat anak tenang (tidak menangis atau memberontak)

Pemeriksaan penunjang medik tidak dianjurkan WHO untuk dikerjakan pada semua kasus yang diduga pneumonia. Dalam hal ini dapat dilakukan foto rontgen dada, meskipun tidak disarankan secara rutin sebab pemeriksaan ini hanya bermanfaat pada kasus pneumonia rawat inap, tidak yakin pneumonia, komplikasi pneumonia, dan gejala yang menetap atau memburuk, serta tidak dapat memastikan penyebabnya. Pemeriksaan laboratorium untuk mencari peningkatan jumlah sel darah putih (leukosit) dan hitung jenisnya untuk semua kasus, juga pemeriksaan biakan dan pewarnaan gram dahak atau sputum untuk pneumonia berat pada anak yang lebih besar dan dicurigai penyebabnya bakteri. Perihal penyebab virus hanya dilakukan pemeriksaan antigen saja, tanpa biakan. Pemeriksaan mikroskopis cairan rongga paru (pleura) hanya dilakukan apabila terjadi efusi pleura, juga untuk menentukan terapi antibiotika. Pemeriksaan tuberkulin (PPD atau uji Mantoux) dapat dipertimbangkan untuk anak dengan riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa.

Tata laksana

Sebagian besar pasien anak dengan pneumonia dapat ditempuh pengobatan rawat jalan dan untuk sementara tetap tinggal di rumah atau barak pengungsian. Meskipun demikian, mungkin ada beberapa kasus yang memerlukan rawat inap di puskesmas rawat inap terdekat atau bahkan harus dirujuk ke RS.

Apabila memungkinkan, kadar oksigen dalam darah (saturasi) pasien diperiksa, dan apabila < 92 persen pada saat bernapas dengan udara kamar, harus diberikan terapi oksigen. Infus, obat turun demam antipiretik dan nebuliser dengan beta 2 agonis dan atau NaCl dapat diberikan. Fisioterapi dada tidak dianjurkan karena tidak bermanfaat. Pemberian makanan per oral sebaiknya ditunda pada saat terjadi gawat pernapasan dan dialihkan menggunakan sonde lambung (NGT). Pengobatan utama untuk pneumonia adalah pemberian antibiotika.

Dengan menggunakan kriteria sederhana di atas, kita semua diharapkan mampu mengenali pneumonia. Penatalaksanaan pneunomia secara tepat, terutama pada anak-anak yang terkena dampak abu vulkanik Gunung Merapi, akan dapat menurunkan mortalitas, sebagai bagian dari langkah besar menuju kesehatan paru dunia.

FX WIKAN INDRARTO Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit BethesdaYogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com