”Galaksi itu tidak akan hidup atau tampak jika bintang-bintang di dalamnya belum hidup,” ujar Premana.
Galaksi yang lahir pada awal semesta itu umumnya berukuran kecil karena berasal dari proses perekrutan massa yang tidak terlalu besar. Jumlah bintang di dalamnya pun tidak terlalu banyak. Evolusi galaksi ini sangat tergantung pada kondisi di dalamnya karena ia tidak berinteraksi dengan galaksi lain di dekatnya.
Meski terlalu dini untuk mengonfirmasi apa-apa, menurut Premana, temuan ini bisa memberikan data baru tentang waktu mulai terbentuknya bintang beserta kompleksitas yang melingkupinya, apakah terbentuk dalam gugus yang sederhana atau justru dalam sistem yang kompleks.
Anggota tim peneliti, Nicole PH Nesvadba dari Institut Astrofisika Spasial, Universitas Paris-Sud, dalam rilis yang dikeluarkan ESO, Rabu (20/10), mengatakan, implikasi dari temuan galaksi ini akan memberikan arti besar bagi perkembangan ilmu astronomi. Menurut dia, ini untuk pertama kalinya ditemukan galaksi yang bersih tanpa diselimuti kabut dan berasal dari semesta yang sangat muda.
Uniknya, meski tanpa kabut, cahaya galaksi ini tidak terlalu kuat. Karena itu, menurut Nicole, kemungkinan ada galaksi lain yang lebih redup dan kurang masif di dekat UDFy-38135539. Keberadaan galaksi lain itu membantu ”membersihkan” lingkungan sekitarnya dari kabut gas yang umumnya menyelimuti galaksi pada semesta muda yang membuat galaksi tak terlihat.
”Tanpa ada galaksi lain, secemerlang apa pun cahaya UDFy-38135539 akan terperangkap dalam kabut hidrogen di sekelilingnya hingga galaksi ini tidak mungkin terdeteksi,” kata anggota peneliti lain, Mark Swinbank dari Institut Kosmologi Komputasi, Universitas Durham, Inggris.
Ada tidaknya kabut hidrogen ini merupakan informasi penting dalam tahapan pembentukan alam semesta. Alam semesta lahir dalam keadaan sangat panas dan kemasifan yang sangat tinggi. Seiring dengan mengembangnya alam semesta, suhu alam semesta pun turun hingga terbentuk hidrogen netral yang kedap cahaya.
Pengembangan alam semesta yang terjadi secara eksponensial membuat kerapatan hidrogen pada satu area berbeda dengan area yang lain. Dari daerah dengan kerapatan hidrogen tinggi itulah muncul obyek-obyek panas pertama, seperti quasar, bintang, atau galaksi yang terbentuk sekitar 400 juta tahun setelah Dentuman Besar.
Obyek-obyek panas pertama ini menaikkan kembali suhu alam semesta. Meski suhunya naik, kondisi itu tidak membuat hidrogen yang ada di semesta menjadi kedap kembali karena kerapatannya sudah jauh menurun akibat mengembangnya alam semesta.
Kondisi inilah yang terjadi pada UDFy-38135539. Pada usia 600 juta tahun setelah Dentuman Besar, kabut hidrogen di sekitarnya tak lagi kedap cahaya, minimal yang ada di sekitarnya, hingga cahaya galaksi tersebut bisa terlihat.
”Inilah arti penting penemuan ini. Para astronom bisa mencocokkan antara teori yang ada dan kondisi riil berdasarkan pengamatan,” kata Ferry M Simatupang, dosen Program Studi Astronomi ITB lainnya.