Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah di Tepi Alam Semesta

Kompas.com - 04/11/2010, 04:31 WIB

OLEH M ZAID WAHYUDI

Upaya manusia untuk mencari batas pinggir rumahnya, alam semesta, tak pernah berhenti. Berbagai peralatan dan metode dikembangkan untuk membuktikan teori-teori yang telah dibangun. Perburuan ke tepi alam semesta ini menjadi penting karena di situlah tersimpan berbagai informasi tentang sejarah awal terbentuknya jagat raya. 

Perjalanan menuju tepi alam semesta itu semakin mendekati ujung dengan ditemukannya Galaksi UDFy-38135539. Galaksi ini diperkirakan memiliki jarak 13 miliar tahun cahaya atau sebanding dengan 1,23 x 10 kilometer dari Bumi. Ia diperkirakan terbentuk hanya 600 juta tahun setelah Dentuman Besar (Big Bang) yang menandai dimulainya pembentukan alam semesta.

Bermula dari penelitian terhadap citra medan luas Hubble Ultra-Deep Field yang diambil teleskop luar angkasa Hubble pada 2009, sejumlah astronom menemukan adanya satu titik cahaya yang sangat lemah. Dengan menggunakan very large telescope (VLT) yang dioperasikan Observatorium Selatan Eropa (ESO) di Cile serta spektograf cahaya inframerah ultrasensitif SINFONI yang ada di VLT, jarak dan usia galaksi tersebut dipastikan.

Pemimpin tim peneliti, Matt Lehnert dari Observatorium Paris, Universitas Paris Diderot, Perancis, kepada BBC News, Rabu (20/10), mengatakan, ukuran galaksi terjauh ini sangat kecil, / hingga / dari Galaksi Bimasakti yang kita tempati. Bintang-bintang dalam galaksi tersebut berjenis raksasa biru yang sangat panas, sangat cemerlang cahayanya, tetapi berumur pendek. Di antara bintang-bintang tersebut diselimuti gas netral yang dingin.

Sejumlah media massa internasional menyebut galaksi ini sebagai yang terjauh dan tertua yang pernah ditemukan. Namun, berdasarkan catatan Kompas, sejumlah klaim tentang penemuan galaksi terjauh pernah dipublikasikan sebelumnya. Salah satunya adalah Galaksi Abell 1835 IR 1916 yang berjarak 13,23 miliar tahun cahaya (Kompas, 30 April 2005).

Ahli kosmologi dari Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), Premana W Premadi, Sabtu (23/10), menilai, temuan Galaksi UDFy-38135539 itu masih memerlukan banyak konfirmasi lagi. Informasi semesta dini pada era galaksi ini umumnya dibangun melalui simulasi komputer tanpa dukungan data observasi yang memadai, seperti tentang pembentukan struktur alam semesta atau runtuhnya gravitasi awan hidrogen yang sebagian berubah menjadi bintang atau galaksi.

Temuan galaksi atau bintang pada usia yang relatif sama dengan galaksi ini bersifat sangat sporadis. ”Benda langit yang bisa diamati pada usia semesta yang muda itu umumnya bukan bintang, tetapi supernova,” katanya.

Supernova atau ledakan bintang merupakan tanda akhir periode radioaktif termonuklir sebuah bintang. Jika bintang pada zaman itu sudah meledak, berarti umur bintang itu sangat pendek, jauh lebih pendek dibandingkan umur bintang-bintang yang diketahui saat ini yang mencapai miliaran tahun. Ledakan bintang yang sangat muda itu hanya dapat terjadi jika massa bintangnya sangat besar.

Pada tahap semesta ini, astronom belum dapat memastikan apakah galaksi atau bintang yang lebih dahulu terbentuk di alam semesta atau mereka terbentuk secara bersamaan. Kalaupun obyek temuan ini dianggap sebagai galaksi, ia dipastikan sebagai galaksi yang sangat muda yang pembentukannya terjadi secara bersamaan dengan bintang di dalamnya.

”Galaksi itu tidak akan hidup atau tampak jika bintang-bintang di dalamnya belum hidup,” ujar Premana.

Galaksi yang lahir pada awal semesta itu umumnya berukuran kecil karena berasal dari proses perekrutan massa yang tidak terlalu besar. Jumlah bintang di dalamnya pun tidak terlalu banyak. Evolusi galaksi ini sangat tergantung pada kondisi di dalamnya karena ia tidak berinteraksi dengan galaksi lain di dekatnya.

Meski terlalu dini untuk mengonfirmasi apa-apa, menurut Premana, temuan ini bisa memberikan data baru tentang waktu mulai terbentuknya bintang beserta kompleksitas yang melingkupinya, apakah terbentuk dalam gugus yang sederhana atau justru dalam sistem yang kompleks.

Transparan

Anggota tim peneliti, Nicole PH Nesvadba dari Institut Astrofisika Spasial, Universitas Paris-Sud, dalam rilis yang dikeluarkan ESO, Rabu (20/10), mengatakan, implikasi dari temuan galaksi ini akan memberikan arti besar bagi perkembangan ilmu astronomi. Menurut dia, ini untuk pertama kalinya ditemukan galaksi yang bersih tanpa diselimuti kabut dan berasal dari semesta yang sangat muda.

Uniknya, meski tanpa kabut, cahaya galaksi ini tidak terlalu kuat. Karena itu, menurut Nicole, kemungkinan ada galaksi lain yang lebih redup dan kurang masif di dekat UDFy-38135539. Keberadaan galaksi lain itu membantu ”membersihkan” lingkungan sekitarnya dari kabut gas yang umumnya menyelimuti galaksi pada semesta muda yang membuat galaksi tak terlihat.

”Tanpa ada galaksi lain, secemerlang apa pun cahaya UDFy-38135539 akan terperangkap dalam kabut hidrogen di sekelilingnya hingga galaksi ini tidak mungkin terdeteksi,” kata anggota peneliti lain, Mark Swinbank dari Institut Kosmologi Komputasi, Universitas Durham, Inggris.

Ada tidaknya kabut hidrogen ini merupakan informasi penting dalam tahapan pembentukan alam semesta. Alam semesta lahir dalam keadaan sangat panas dan kemasifan yang sangat tinggi. Seiring dengan mengembangnya alam semesta, suhu alam semesta pun turun hingga terbentuk hidrogen netral yang kedap cahaya.

Pengembangan alam semesta yang terjadi secara eksponensial membuat kerapatan hidrogen pada satu area berbeda dengan area yang lain. Dari daerah dengan kerapatan hidrogen tinggi itulah muncul obyek-obyek panas pertama, seperti quasar, bintang, atau galaksi yang terbentuk sekitar 400 juta tahun setelah Dentuman Besar.

Obyek-obyek panas pertama ini menaikkan kembali suhu alam semesta. Meski suhunya naik, kondisi itu tidak membuat hidrogen yang ada di semesta menjadi kedap kembali karena kerapatannya sudah jauh menurun akibat mengembangnya alam semesta.

Kondisi inilah yang terjadi pada UDFy-38135539. Pada usia 600 juta tahun setelah Dentuman Besar, kabut hidrogen di sekitarnya tak lagi kedap cahaya, minimal yang ada di sekitarnya, hingga cahaya galaksi tersebut bisa terlihat.

”Inilah arti penting penemuan ini. Para astronom bisa mencocokkan antara teori yang ada dan kondisi riil berdasarkan pengamatan,” kata Ferry M Simatupang, dosen Program Studi Astronomi ITB lainnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com