Selain itu, Muhammad Nazar menyatakan penting juga pemberian penyuluhan kepada masyarakat dan mengimbau warga tetap taat kepada hukum atau aturan yang ada, misalnya tidak mendirikan bangunan di bibir pantai.
"Masyarakat harus taat aturan, jika pemerintah mengintruksikan agar tidak mendirikan bangunan rumah di bibir pantai maka jangan dilanggar. Itu semua merupakan upaya kita mencegah korban jiwa dan harta jika terjadi tsunami," katanya menambahkan.
Setiap adanya gempa, Satkorlak memanfaatkan alat komunikasi untuk memantau perkembangan, sehingga masyarakat bisa cepat menerima informasi jika disusul dengan tsunami. "Alhamdulillah, gempa Simeulue itu tidak ada tsunami," tambahnya.
Tahan gempa
Simeulue merupakan satu dari 23 kabupaten/kota di Aceh yang masuk dalam peta rawan terjadi gempa dan tsunami.
Konon, ratusan tahun silam wilayah kepulauan Simeulue pernah diterjang gempa dahsyat yang disertai tsunami dengan ketinggian air laut mencapai 20 meter.
Karena itu, berbagai cerita orang tua terdahulu tentang adanya tsunami atau smong dalam bahasa Simeulue, telah menjadi pelajaran hingga kini bagi masyarakat bahwa jika gempa langsung mengungsi ke dataran tinggi.
"Karena berdasarkan cerita para orang tua tentang smong maka masyarakat kami spontan berlarian mencari dataran tinggi pascagempa dan itu berlaku sampai saat ini," kata tokoh masyarakat Simeulue Rahmad.
Sekitar 1990-an, sebagian besar bangunan di Simeulue masih menggunakan konstruksi kayu. Akan tetapi, kini sudah berubah dan sebagian berkonstruksi beton.
Karena Simeulue termasuk dalam peta daerah rawan bencana gempa di Samudera Hindia itu maka pemerintah setempat diminta mengadopsi bangunan tahan gempa.
"Ini hendaknya mendapat perhatian pemerintah dan instansi terkait di daerah kepulauan tersebut," kata Manajer Riset Pusat Studi Lingkungan dan Masyarakat Adat Aceh M Oki Kurniawan.