Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trauma Smong Masih Membekas

Kompas.com - 08/04/2010, 03:11 WIB

Oleh Azhari

Teriakan "Gempa...gempa...," membangunkan orang-orang yang spontan keluar dari rumah manakala  bumi Aceh, Rabu, sekira pukul 05.15 WIB bergoyang.

Dalam hitungan menit, sebagian besar warga, terutama mereka yang berdomisili di desa yang berdekatan dengan pantai, bergegas pergi  mencari dataran tinggi meski tidak sedikit juga yang bertahan di rumah.

Bagi sebagian warga Aceh, gempa pada subuh hari itu mengingatkan kembali pada gempa 26 Desember 2004 yang disusul tsunami hebat.

"Bagaimana saya tidak mengungsi, peristiwa tsunami lima tahun lalu masih membekas dalam diri kami sekeluarga," kata Joni, warga Banda Aceh.

Situasi tersebut tidak hanya dialami Joni dan keluarganya, tapi juga sebagian warga yang desanya berjarak sekitar satu hingga dua kilometer dari pesisir pantai  Kota Banda Aceh.

Suasana pagi hari itu bertambah mencekam menyusul terputusnya aliran listrik PT PLN yang membuat Banda Aceh dan wilayahnya lainnya gelap gulita.

"Perasaan saya jadi tidak enak, ayo kita mengungsi ke Lambaro. Saya khawatir sekali akan terjadi tsunami seperti lima tahun lalu," kata Saifuddin, warga Kelurahan Beurawe, Kota Banda Aceh.

Warga bergegas, ada yang naik motor, mobil, dan becak, bahkan dump truk, berburu mencari dataran tinggi pascagempa kuat. Suasana jalan raya yang sebelumnya sepi, mendadak padat pada subuh hari itu.

Tsunami atau bagi masyarakat kepulauan Simeulue disebut dengan smong membekas kuat dalam diri penduduk di provinsi ujung paling barat Indonesia itu.

Oleh karena itu, puluhan ribu warga Aceh, terutama di Simeulue, tanpa ada yang mengomando, langsung "ambil langkah seribu" ketika merasakan guncangan gempa semakin kuat.

Pengalaman smong lima tahun lalu seakan  menjadi pelajaran paling berharga bagi masyarakat di Aceh untuk menghindari jatuh korban jiwa pascagempa.

"Di satu sisi memang menjadi pelajaran berharga karena secara cepat masyarakat melakukan antisipasi sebelum datang tsunami. Tapi, di sisi lain dikhawatirkan dapat menambah korban kecelakaan jika terjadi kepanikan," kata anggota DPRA Darmawan.

Ia berharap Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh  lebih tanggap menurunkan petugas, apakah Satpol PP atau polisi, guna membantu pengamanan jalan raya jika terjadi gempa kuat.

Darmawan juga menyatakan bukan tidak mungkin ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil manfaat pascagempa dengan penyebaran isu-isu akan terjadi tsunami, sehingga masyarakat mengungsi dan meninggalkan rumah.

"Bukan tidak mungkin saat warga meninggalkan rumah, kemudian ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab mengambil kesempatan, misalnya menguras seisi rumah yang ditinggalkan penghuninya," kata anggota fraksi Partai Aceh itu.

Terbesar pascatsunami
Wakil Gubernur Muhammad Nazar menyatakan, gempa yang mengguncang Kabupaten Simeulue itu merupakan terbesar pascagempa dan tsunami pada 2004.

Bencana alam yang disertai tsunami akhir 2004 mengakibatkan lebih 200 ribu jiwa meninggal dunia dan hilang serta menghancurkan berbagai fasilitas publik dan rumah di Aceh.

Wagub menyebutkan, meski tidak ada korban meninggal akibat gempa namun tercatat 12 warga korban luka, empat di antaranya cedera berat dan kini dalam perawatan di rumah sakit setempat.

Gempa juga mengakibatkan beberapa gedung pemerintah dan rumah retak. Belum ada angka pasti mengenai kerusakan bangunan.

Muhammad Nazar, yang juga Ketua Satkorlak PB Provinsi Aceh, mengatakan, gempa Simeulue mengakibatkan puluhan tiang listrik roboh di sejumlah kecamatan di pulau tersebut.

Pemerintah Aceh, kata dia, menyatakan simpati dan akan segera mendata berbagai kerusakan akibat gempa dan menyalurkan bantuan kepada masyarakat korban bencana alam tersebut.

Simeulue merupakan satu dari 23 kabupaten/kota yang wilayahnya berada di kepulauan. Letaknya sekitar 110 mil laut dari pesisir pantai barat Provinsi Aceh.

"Yang penting masyarakat kepulauan Simeulue tidak panik menghadapi musibah ini dan diharapkan tetap waspada karena bencana alam merupakan ujian dari Allah SWT," katanya.

Ia menyatakan, isu tsunami pascagempa yang secara cepat merebak harus disikapi secara arif, sehingga tidak menimbulkan kepanikan.

"Kami mengimbau masyarakat tidak langsung percaya, kemudian terus bergegas meninggalkan rumah. Pemerintah tidak tinggal diam untuk memantau situasi pascagempa melalui kerja sama dengan BMKG," kata Muhammad Nazar.

Akan tetapi, ia juga mengimbau masyarakat agar tidak perlu percaya 100 persen kepada peralatan canggih yang saat ini sudah terpasang untuk mendeteksi dini tsunami di Aceh.

Sebab, ia menilai peralatan canggih pendeteksi gempa dan tsunami seperti sistem peringatan dini  yang terpasang di wilayahnya masih perlu perbaikan.

"Masih banyak hal yang perlu kita perbaiki untuk peralatan canggih. Karenanya saya imbau masyarakat agar tidak tergantung 100 persen pada peralatan itu," katanya.

Karenanya masyarakat agar memanfaatkan juga kearifan lokal, misalnya melalui pengumuman dari masjid atau meunasah di desa.

Selain itu, Muhammad Nazar menyatakan penting juga pemberian penyuluhan kepada masyarakat dan mengimbau warga tetap taat kepada hukum atau aturan yang ada, misalnya tidak mendirikan bangunan di bibir pantai.

"Masyarakat harus taat aturan, jika pemerintah mengintruksikan agar tidak mendirikan bangunan rumah di bibir pantai maka jangan dilanggar. Itu semua merupakan upaya kita mencegah korban jiwa dan harta jika terjadi tsunami," katanya menambahkan.

Setiap adanya gempa, Satkorlak memanfaatkan alat komunikasi  untuk memantau perkembangan, sehingga masyarakat bisa cepat menerima informasi jika disusul dengan tsunami.  "Alhamdulillah, gempa Simeulue itu tidak ada tsunami," tambahnya.

Tahan gempa
Simeulue merupakan satu dari 23 kabupaten/kota di Aceh yang masuk dalam peta rawan terjadi gempa dan tsunami.

Konon, ratusan tahun silam wilayah kepulauan Simeulue pernah diterjang gempa dahsyat yang disertai tsunami dengan ketinggian air laut mencapai 20 meter.

Karena itu, berbagai cerita orang tua terdahulu tentang adanya tsunami atau smong dalam bahasa Simeulue, telah menjadi pelajaran hingga kini bagi masyarakat bahwa jika gempa langsung mengungsi ke dataran tinggi.

"Karena berdasarkan cerita para orang tua tentang smong maka masyarakat kami spontan berlarian mencari dataran tinggi pascagempa dan itu berlaku sampai saat ini," kata tokoh masyarakat Simeulue Rahmad.

Sekitar 1990-an, sebagian besar bangunan di Simeulue masih menggunakan konstruksi kayu. Akan tetapi, kini sudah berubah dan sebagian berkonstruksi beton.

Karena Simeulue termasuk dalam peta daerah rawan bencana gempa di Samudera Hindia itu maka pemerintah setempat diminta mengadopsi bangunan tahan gempa.

"Ini hendaknya mendapat perhatian pemerintah dan instansi terkait di daerah kepulauan tersebut," kata Manajer Riset Pusat Studi Lingkungan dan Masyarakat Adat Aceh M Oki Kurniawan.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir sudah puluhan kali terjadi gempa kuat di Kabupaten Simeulue yang menyebabkan banyak kerusakan bangunan, baik milik pemerintah maupun masyarakat dengan kerugian materi tidak terhitung lagi.

Selain gempa 7,2 skala richter Rabu (7/4), gempa kuat lainnya pernah terjadi Simeulue, yakni 7,3 SR pada 20 Februari 2008. Kemudian 8,2 SR yang terjadi 28 Maret 2005 8,2 SR dan gempa dipicu tsunami 9,0 SR yang terjadi pada 26 Desember 2004.

Melihat rangkaian gempa kuat tersebut, kata dia, seharusnya pemerintah daerah menerapkan konsep pembangunan tahan gempa, sehingga uang negara tidak dihabiskan membangun infrastruktur di daerah itu.

"Kalau anggaran pemerintah hanya habis membangun kantor pemerintahan setiap tahunnya karena rusak akibat gempa kapan bisa menyejahterakan rakyat," ujarnya.

Oleh karena itu, pola pembangunan tahan gempa harus diterapkan sejak sekarang, kata aktivis lingkung hidup yang kerap melakukan penelitian di Simeulue tersebut.

"Kantor-kantor tersebut juga pernah parah rusak karena gempa tahun-tahun sebelumnya. Gempa subuh kemarin itu kembali merusak banyak kantor pemerintahan. Artinya, pembangunan di Simeulue hanya itu-itu saja," kata dia.

Namun yang paling penting adalah masyarakat Aceh dan khususnya di Simeulue tidak terus larut dalam trauma akibat gempa dan tsunami, karena itu kehendak Tuhan dan bisa terjadi kapan saja.

Kewaspadaan tinggi yang perlu terus dilakukan, agar jika terjadi smong, dampaknya bisa diperkecil.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau