KOMPAS.com - Jarum jam menunjukkan pukul 13.00, Selasa (22/12). Di sebuah kios berukuran sekitar 2 meter x 2 meter di depan Gedung Kesenian Jakarta, seorang lelaki yang mengenakan kemeja coklat dan berkacamata duduk di bangku kecil.
Sepotong kaca di atas pahanya. Di atas kaca menempel selembar kertas foto yang gagal cetak. Perlahan tetapi pasti, pulpen yang dipegang seorang lelaki yang kemudian mengenalkan namanya Soleh (52) itu bergerak membentuk gambar dua lonceng dan lilin berwarna merah kekuningan di atas kertas tersebut.
Di samping gambar lonceng, Soleh kemudian menulis ”Selamat Natal 2009 dan Tahun Baru 2010” di kertas yang sama. Di pojok kanan atas kertas foto tersebut ditulis kepada siapa kartu akan dikirim dan di pojok kiri bawah tertulis nama pengirim. Hanya dalam waktu 15 menit, sebuah kartu Natal diselesaikan Soleh. Selembar kartu lengkap dengan amplopnya dijual Rp 25.000 hingga Rp 30.000.
Soleh adalah satu-satunya dari 29 pelukis yang tergabung dalam Kelompok Pelukis Penulis Indah (KPPI) yang menempati deretan kios di Jalan Gedung Kesenian Jakarta.
”Sudah 15 tahun saya membuat kartu Natal seperti ini. Dulu hampir semua pelukis di sini membuat kartu seperti ini. Tetapi, sejak empat tahun lalu tinggal saya sendiri yang masih melayani pesanan,” ungkap Soleh.
Pada era 1990-an, kenang Soleh, permintaan kartu ucapan seperti yang ia buat mencapai ratusan. Namun, sekarang pesanan yang ia terima kurang dari 50 lembar.
Bermodalkan kertas film gagal cetak, pulpen tak bertinta, dan pisau tumpul yang ia modifikasi sendiri, Soleh melayani pesanan kartu Natal setiap tahun. Pada saat Lebaran ia juga membuat kartu Lebaran.
Menurunnya pesanan kartu ucapan Natal yang dilukis terjadi seiring dengan perkembangan teknologi. Sejak sekitar 10 tahun terakhir, minat orang menggunakan kartu Natal menurun dan beralih menggunakan teknologi, mulai dari pengiriman ucapan lewat penyeranta (pager) hingga layanan pesan singkat atau SMS (telepon seluler).
”Sekarang kartu kalah dengan SMS,” kata Suwito, pelukis lain yang juga Ketua KPPI menegaskan alasan para pelukis tidak lagi membuat kartu ucapan.
Menurut dia, sejak pager mulai dikenal di masyarakat sekitar tahun 1998, sebagian pengguna kartu ucapan beralih ke media tersebut. Permintaan kartu ucapan semakin berkurang setelah masyarakat mengenal media komunikasi digital lain.