Saya, lebih banyak menggali cerita dari beberapa climate champions. Satu cerita menarik saya dapatkan dari seorang climate champions asal Jepang, Yasuyo Tatebe. Program dan proyek yang tengah dijalankan Yasuyo sangat sederhana, tapi seringkali luput dari perhatian. Ia menggagas sebuah program yang dinamakannya "mug action".
Menurut Yasuyo, ide ini berawal dari rasa prihatin atas banyaknya restoran cepat saji yang menggunakan gelas kertas (paper cup) sebagai wadah minuman. Gelas kertas ini berhulu pada penebangan hutan.
"Kalau saya perhatikan, kita minum hanya lima menit, kemudian wadahnya dibuang. Bayangkan berapa banyak pohon yang ditebang untuk membuat paper cup atau tempat-tempat makan itu. Kita bisa melakukan hal kecil untuk menguranginya," kata Yasuyo.
Kemanapun pergi, ia selalu membawa gelas sendiri dan kotak makan sendiri. Kemudian, ia memulai gerakan mempersuasi masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Perubahan besar dan dampak positif bagi bumi, menurutnya, akan terasa jika dimulai dari aksi-aksi individu.
Awalnya, diakui Yasuyo, tak mudah mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Lama kelamaan, satu persatu anggota keluarganya mengikuti jejak Yasuto dan kemudian diikuti teman-temannya. Menarik bukan?
Selain saling berbagi cerita, saya dan Goris yang punya minat sama menggali informasi mengenai sistem transportasi ramah lingkungan. Salah satunya diskusi yang kami ikuti, pembahasan eco-friendly transportation oleh International Railway Union. Hasilnya, membangun sistem transportasi yang pro lingkungan dibutuhkan kemauan politik dari pemerintah. Akan tetapi ditekankan, membangun sistem transportasi yang mapan tak hanya ditunjang dengan kesiapan infrastruktur. Menyediakan informasi yang mudah diakses bagi warga juga menjadi salah satu kuncinya.
Begitulah, sepanjang perjalanan ini diisi dengan perbincangan, diskusi dan wawancara. Maklum saja, satu gerbong khusus diisi oleh para wartawan dari seluruh dunia. Perwakilan Indonesia, Goris, juga sempat bersuara. Terutama, mengenai misi yang dibawa ke Kopenhagen dan harapan kaum muda terhadap hasil pertemuan Kopenhagen.
Climate Express akhirnya mengantarkan rombongan perdana ke Central Station Kopenhagen, pada pukul 23.50, hari yang sama. Menteri perubahan iklim Denmark, Lykke Frilis, menyambut rombongan. Kami sempat menyerahkan kaos "From Bali to Copenhagen" kepada menteri yang sangat enerjik dan penuh semangat itu.
Frilis, yang berpotongan rambut cepak dan mengenakan jaket kulit hitam, tak segan-segan menghampiri para duta Indonesia dan memberikan kesempatan untuk kembali berfoto bersama. Dalam sambutannya, ia yakin Kopenhagen akan menjadi sejarah dan COP15 akan menghasilkan kesepakatan yang baik.
Selepas mengikuti seremoni penerimaan, saya dan Goris bersama Ibnu Najib (climate champions 2007) dan para climate champions Jepang, menuju penginapan di kawasan Hellerup. Disini, kami akan bermalam bersama rombongan Eco-Singapura yang menyewa satu rumah.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00. Ah, lelah mulai terasa...Tapi, tetap harus bersemangat karena hari pertama di Kopenhagen akan dimulai dengan pertemuan para pemuda seluruh dunia dalam Conference of the Youth (CoY).
(Bersambung)