Wartawan Kompas.com Inggried Dwi Wedhaswary dan seorang "climate champion British Council" Goris Mustaqim mengikuti konferensi perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, pada 7-18 Desember 2009. Berikut adalah catatan perjalanan yang dituliskan Inggried. Kisah lengkap perjalanan dan liputan konferensi dapat dilihat di halaman liputan khusus Green Journey.
______________________________
KOMPAS.com - Kereta api Euro Star yang membawa rombongan climate champions British Council, delegasi, dan perwakilan NGO meninggalkan St Pancrass International Station pada Jumat (4/12/2009) sore, pukul 17.30.
CEO Eurostar, Richard Brown, yang melepas rombongan menyatakan dukungannya pada konferensi perubahan iklim dan harapan memperoleh hasil yang baik. Sebelum berangkat, Goris sempat menyerahkan sebuah kaos "From Bali to Copenhagen" kepada Brown. Ia menyatakan sepakat bahwa para pihak harus serius membicarakan solusi perubahan iklim sesuai dengan mandat Bali Roadmap.
Perjalanan London-Brussels hanya membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam melalui terowongan bawah laut dan melintasi Prancis. Sayang, perjalanan malam hari membuat kami tak bisa menikmati pemandangan yang dilalui. Sepanjang perjalanan, para climate champions memanfaatkan waktu dengan saling bertukar cerita tentang proyek yang sudah dijalankan di negaranya masing-masing.
Turut bergabung dalam rombongan, delegasi dari AS, Inggris, Oman, dan beberapa negara lainnya. Total, sekitar 30 climate champions yang bergabung dalam perjalanan ini. Sekitar pukul 23.55, rombongan tiba di Stasiun Brussels Midi dan langsung menuju youth hostel.
Model youth hostel ini cukup unik dan agaknya memang dirancang untuk rombongan anak muda yang melakukan perjalanan. Satu kamar bisa diisi oleh empat orang dengan tempat tidur dua tingkat layaknya sebuah asrama. Semalam di Brussels hanya dimanfaatkan untuk beristirahat. Esok pagi, perjalanan 14 jam Brussels-Kopenhagen sudah menanti.
Climate Express' Story
Pukul 10.00, 5 Desember 2009, kereta api Climate Express membawa sekitar 400 calon peserta COP15 dari Stasiun Brussels Midi ke Kopenhagen. Antrean lumayan panjang, karena para penumpang harus melakukan registrasi terlebih dahulu. Booklet dibagikan, berisi informasi mengenai A-Z Climate Express, kereta khusus yang dirancang untuk mengangkut para peserta COP15. Lebih khusus lagi, kereta ini didesain lebih irit bahan bakar dibandingkan kereta api pada umumnya.
Perjalanan dengan kereta api inilah yang kemudian menginspirasi munculnya program "Green Journey to Copenhagen". Jika ingin lebih cepat, sebenarnya bisa saja menggunakan moda transportasi udara. Tetapi, esensi yang ingin dicapai adalah substansi perjalanan. Dengan menggunakan kereta api, selain dikenal sebagai transportasi ramah lingkungan juga memberikan ruang untuk berbagi cerita dan melakukan berbagai hal yang bermanfaat.
Apa saja yang dilakukan selama 14 jam perjalanan? Sekitar 30 climate champions British Council dari berbagai negara saling berbagi cerita. Tentang apa saja. Tentang proyek yang tengah dijalankannya atau sekedar berdiskusi tentang kemungkinan hasil yang akan dicapai dalam KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen.
Goris, seperti biasa, tak pernah kenal kata "diam". Beberapa climate champions, termasuk Goris, akhirnya reuni dengan rekan dari sejumlah negara karena pernah mengikuti workshop bersama pada Maret lalu di Jepang.
Saya, lebih banyak menggali cerita dari beberapa climate champions. Satu cerita menarik saya dapatkan dari seorang climate champions asal Jepang, Yasuyo Tatebe. Program dan proyek yang tengah dijalankan Yasuyo sangat sederhana, tapi seringkali luput dari perhatian. Ia menggagas sebuah program yang dinamakannya "mug action".
Menurut Yasuyo, ide ini berawal dari rasa prihatin atas banyaknya restoran cepat saji yang menggunakan gelas kertas (paper cup) sebagai wadah minuman. Gelas kertas ini berhulu pada penebangan hutan.
"Kalau saya perhatikan, kita minum hanya lima menit, kemudian wadahnya dibuang. Bayangkan berapa banyak pohon yang ditebang untuk membuat paper cup atau tempat-tempat makan itu. Kita bisa melakukan hal kecil untuk menguranginya," kata Yasuyo.
Kemanapun pergi, ia selalu membawa gelas sendiri dan kotak makan sendiri. Kemudian, ia memulai gerakan mempersuasi masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Perubahan besar dan dampak positif bagi bumi, menurutnya, akan terasa jika dimulai dari aksi-aksi individu.
Awalnya, diakui Yasuyo, tak mudah mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Lama kelamaan, satu persatu anggota keluarganya mengikuti jejak Yasuto dan kemudian diikuti teman-temannya. Menarik bukan?
Selain saling berbagi cerita, saya dan Goris yang punya minat sama menggali informasi mengenai sistem transportasi ramah lingkungan. Salah satunya diskusi yang kami ikuti, pembahasan eco-friendly transportation oleh International Railway Union. Hasilnya, membangun sistem transportasi yang pro lingkungan dibutuhkan kemauan politik dari pemerintah. Akan tetapi ditekankan, membangun sistem transportasi yang mapan tak hanya ditunjang dengan kesiapan infrastruktur. Menyediakan informasi yang mudah diakses bagi warga juga menjadi salah satu kuncinya.
Begitulah, sepanjang perjalanan ini diisi dengan perbincangan, diskusi dan wawancara. Maklum saja, satu gerbong khusus diisi oleh para wartawan dari seluruh dunia. Perwakilan Indonesia, Goris, juga sempat bersuara. Terutama, mengenai misi yang dibawa ke Kopenhagen dan harapan kaum muda terhadap hasil pertemuan Kopenhagen.
Climate Express akhirnya mengantarkan rombongan perdana ke Central Station Kopenhagen, pada pukul 23.50, hari yang sama. Menteri perubahan iklim Denmark, Lykke Frilis, menyambut rombongan. Kami sempat menyerahkan kaos "From Bali to Copenhagen" kepada menteri yang sangat enerjik dan penuh semangat itu.
Frilis, yang berpotongan rambut cepak dan mengenakan jaket kulit hitam, tak segan-segan menghampiri para duta Indonesia dan memberikan kesempatan untuk kembali berfoto bersama. Dalam sambutannya, ia yakin Kopenhagen akan menjadi sejarah dan COP15 akan menghasilkan kesepakatan yang baik.
Selepas mengikuti seremoni penerimaan, saya dan Goris bersama Ibnu Najib (climate champions 2007) dan para climate champions Jepang, menuju penginapan di kawasan Hellerup. Disini, kami akan bermalam bersama rombongan Eco-Singapura yang menyewa satu rumah.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00. Ah, lelah mulai terasa...Tapi, tetap harus bersemangat karena hari pertama di Kopenhagen akan dimulai dengan pertemuan para pemuda seluruh dunia dalam Conference of the Youth (CoY).
(Bersambung)