Kampanye bocah-bocah itu sejalan dengan program sekolah. Direncanakan keluar surat keputusan (SK) kepala sekolah mendukung bebas styrofoam akhir tahun 2009.
”Kami mendahulukan dialog dan proses, tidak langsung mengeluarkan SK begitu saja. Ada sosialisasi kepada kelas dan guru tentang bahaya styrofoam,” kata Dety. Hingga kini, makan siang guru masih disediakan dengan pembungkus styrofoam.
Bulan Juli 2009, bersamaan acara perpisahan dan wisuda, secara simbolis akan diserahkan kemasan berbahan plastik sebagai pengganti styrofoam. Masing-masing warung di kantin diberi 25 kemasan plastik yang dapat dipakai ulang.
Di balik kampanye sadar kesehatan dan lingkungan ada orangtua siswa. Merekalah yang aktif mendorong sekolah agar berubah. ”Butuh waktu dan kemauan untuk menularkan kesadaran. Kami pakai momentum yang ada,” kata salah satu orangtua siswa yang juga aktivis lingkungan, Sandra Moniaga.
Gayung bersambut. Kampanye itu didukung Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang akan membawa tanda tangan mereka ke Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan. ”Sayang kalau tidak disuarakan,” kata Ilyani dari YLKI yang menyaksikan kampanye. Dia menilai konsumen masih menjadi
Sementara itu, pemerintah tak tegas melindungi konsumen. Penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan ada ketentuannya, tetapi sering dilanggar.
Menunggu, tidak menyelesaikan masalah. Apa yang dilakukan siswa, orangtua, dan guru di SD Pangudi Luhur adalah inspirasi: berpikir sederhana dengan memulai dari sekitar kita. (GSA)