Di antara keramaian bazar SD Pangudi Luhur, Jakarta, Sabtu (18/4) pagi, sejumlah bocah dengan poster anti-styrofoam
Bocah-bocah itu siswa kelas VI SD yang lokasinya tak jauh dari kompleks Mal Pondok Indah, sementara poster-poster yang mereka kenakan merupakan karya siswa kelas V.
Setiap tahun, sekolah itu membiasakan lulusannya meninggalkan kenangan khusus. Tahun 2008, kakak kelas mereka meninggalkan tempat sampah nonorganik dan organik.
Kini, mereka ingin lebih dari itu. ”Kami ingin sekolah enggak pakai styrofoam lagi sebagai wadah makanan,” kata Matthew Waworuntu (12). ”Itu kan berbahaya bagi kesehatan,” tambah Amelia Rugun Sirait (11).
Pagi itu, tim kampanye meminta para orangtua siswa yang mengambil rapor semesteran dan teman-temannya tanda tangan di atas kain. Sebagian mencegat di lorong pintu masuk dan sebagian mondar-mandir di halaman.
Informasi bahaya styrofoam sebagai kemasan makanan mereka dapat dari orangtua dan internet. Meski belum bisa menjelaskan detail, anak-anak itu tahu dampak lingkungan dan kesehatan, dari tak bisa terurai di alam hingga memicu kanker (karsinogenik) akibat akumulasi zat kimia yang masuk ke dalam tubuh konsumen.
Zat kimia berbahaya styrofoam berpindah ke tubuh konsumen bersama dengan makanan. Perpindahan kian cepat dalam suhu panas, makanan berlemak tinggi, dan mengandung alkohol atau asam. Namun, bentuknya yang menarik, seperti menutupi risiko tadi. Konsumen kadang sulit menghindarinya. ”Kadang memang masih dapat juga,” kata Birgitta Anggitan Puspa (11).
Seperti siang itu, sejumlah stan makanan masih menyediakan styrofoam sebagai pembungkus sate, gudeg, dan es krim. ”Kami anggap sebagai tantangan,” kata Dety Kurniasih, salah satu guru yang aktif mendukung kampanye tersebut.
Di sekolah itu, baru satu warung yang dengan sadar meninggalkan styrofoam. Gantinya, mereka gunakan wadah berbahan plastik yang dapat dipakai ulang. Menurut Dety, model itulah yang diharapkan terwujud.