Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Georadar Lacak Situs Purba

Kompas.com - 25/02/2009, 15:52 WIB

Oleh Yuni Ikawati

Situs Kerajaan Majapahit di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, mungkin akan terlindungi dari upaya okupasi peruntukan lain dan penjarahan bila ada upaya pemetaan kawasan itu dengan menggunakan georadar.

Saat ini, dunia arkeologi di Indonesia masih diguncang oleh perusakan situs peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan. Situs ini menarik perhatian dengan dilaksanakannya pembangunan Pusat Informasi Trowulan (PIM) di atas lokasi bekas kerajaan tersebut.

Sesungguhnya perusakan situs ini sudah berlangsung lebih lama dan lebih parah daripada yang terjadi akibat pembangunan PIM. Bukan rahasia lagi bahwa tidak sedikit masyarakat lokal yang miskin menggali secara liar situs ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dari kacamata sains dan teknologi, kerusakan sebagian dari situs Majapahit di Trowulan adalah akibat dari belum dikembangkannya ilmu geofisika pada bidang arkeologi. ”Pemetaan arkeologi bawah tanah yang merupakan perpaduan antara geofisika dan arkeologi nyaris tak tersentuh di Indonesia, antara lain karena dianggap kurang mempunyai nilai ekonomis,” ujar Anggoro Sri Widodo, geofisikawan lulusan S-2 ITB yang kini bergabung di CITIC Seram Energy. Di Indonesia, program studi di geofisika terfokus pada bidang minyak dan gas bumi, eksplorasi mineral, geotermal, gempa dan tsunami, serta cuaca.

Karena adanya kesamaan teori, konsep, metode interpretasi antara geofisika migas dan geofisika-arkeologi, tidak sulit memetakan situs Majapahit di Trowulan yang telah terpendam.

Yang membedakan untuk eksplorasi migas digunakan energi gelombang getaran seismik untuk mendapatkan citra bawah permukaan, sedangkan untuk kepentingan pemetaan arkeologi digunakan sumber gelombang radar (ground penetration radar/GPR).

Pemetaan GPR menggunakan pulsa radar frekuensi tinggi yang dipancarkan dengan antena dari permukaan ke dalam tanah. Gelombang ini kemudian diteruskan dan dipantulkan kembali oleh benda-benda yang terpendam di dalam tanah. Kemudian data pantulan gelombang ini akan direkam di dalam domain waktu dan citra yang dihasilkannya kemudian dikonversi ke domain kedalaman.

Citra bawah permukaan digambarkan dalam bentuk amplitude gelombang. Amplitude ini menggambarkan perubahan cepat rambat gelombang pada benda terpendam maupun sedimen tertutup. ”Batu candi atau benda peninggalan lainnya mempunyai cepat rambat gelombang yang lebih tinggi daripada sedimen penutupnya,” ujar Anggoro menguraikan.

Sementara itu, peneliti di Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (TISDA) BPPT, Djoko Nugroho, mengungkapkan, aplikasi georadar telah dilakukan dalam pencarian bekas Kerajaan Sumbawa yang terpendam akibat letusan Gunung Tambora di pulau di Nusa Tenggara Barat. Pencarian melibatkan peneliti ITB ini berhasil menemukan lokasi situs kerajaan tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com