Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyantrik Keris pada Empu Subandi

Kompas.com - 12/08/2008, 08:24 WIB

Budaya ”kerahasiaan” dalam pembuatan keris pada masa lalu itu disebut sebagai budaya sinengker. Keris bagi orang Jawa pada masa lalu merupakan benda yang sinengker. Dipesan untuk dibikin dengan niat pribadi sehingga perlu dirahasiakan.

Meski kerahasiaan itu menghambat pelestariannya, ternyata budaya sinengker itu dulu juga menimbulkan kekhasan mutu dan penampilan keris. Keris yang dari ”tangguh” (perkiraan zaman pembuatan atau gaya zaman tertentu) Majapahit abad ke-14-16, misalnya, secara visual tampak berbeda dari keris tangguh tua sebelumnya, masa Kerajaan Pajajaran (abad ke-14-15).

Tetapi, pada zaman kamardikan (setelah kemerdekaan), benteng-benteng sinengker itu mulai runtuh. Ilmu membuat keris mulai diurai keluar tembok keraton. Dalam 20 tahun terakhir, keris bahkan sudah masuk ke tembok kampus. Keris kini sudah menjadi mata kuliah pilihan bagi mahasiswa kriya ISI Solo, di samping tatah logam, kriya kayu, dan wayang.

”Di besalen kampus, mahasiswa bahkan bisa menggunakan bahan-bahan dari sekolah, termasuk arang kayu jati—satu-satunya jenis arang yang dipergunakan untuk memijar batang-batang besi karena memiliki suhu tinggi di atas 1.000 derajat Celsius,” ujar Sunarwan alias Grompol, alumnus angkatan tahun 2000 ISI Solo.

Guna menimba ilmu keris yang lebih dalam, para mahasiswa pun kemudian nyantrik (berguru) di besalen pribadi di luar kampus, seperti milik Empu Subandi di Ngringo, atau milik empu muda lainnya, seperti Yanto, Yantono, dan Daliman.

”Minat untuk ambil kuliah pilihan keris meningkat, terutama setelah adanya pengakuan dari UNESCO,” tutur Empu Subandi. Pengakuan UNESCO yang dimaksud Subandi adalah pengakuan dari lembaga PBB ini dalam proklamasinya di Paris, Perancis, 25 November 2005, bahwa keris merupakan warisan kemanusiaan dunia dari Indonesia (oral and intangible heritage of Indonesia). Tahun 2003, pengakuan serupa juga dilayangkan UNESCO untuk wayang.

Setidaknya, lebih dari 10 mahasiswa sudah nyantrik di besalen Empu Subandi. Mereka tak hanya datang dari ISI Solo, tetapi juga dari ISI Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), dan sebuah universitas swasta di Surabaya.

Jumat (8/8) lalu, misalnya, ada tiga cantrik, Sigit (semester tujuh), Sunarwan (sudah lulus ISI), dan Argo (UMS Solo) yang tengah mengayunkan godam ke pelat besi di paron, dibantu Sukimin, asisten Subandi.

”Jika di bangku akademi, kami mempelajari teori, di besalen seperti ini, kami praktik,” tutur Sunarwan, salah satu alumnus ISI Solo yang juga ”lulus” kuliah keris.

Sekitar enam bulan

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau