Gelombang gravitasi mikro tersebut merupakan jejak dari inflasi kosmos, sebuah peristiwa ketika alam semesta mengembang dengan cepat segera setelah 13,7 miliar tahun lalu.
Temuan yang merupakan hasil pengamatan area langit miskin debu kosmos bernama "lubang langit" dengan teleskop canggih di Kutub Selatan itu disebut merupakan salah satu hasil riset fisika terbesar abad ini.
Saking pentingnya, temuan itu disebut berpotensi mengantarkan ilmuwannya meraih Nobel Fisika, sama halnya dengan penemuan boson Higgs alias "partikel Tuhan" pada tahun 2012 lalu.
Menemukan gelombang gravitasi mikro berarti ilmuwan mengonfirmasi kebenaran teori inflasi kosmos yang dikemukakan oleh fisikawan Alan Guth dan Andre Linde pada tahun 1980, sekaligus mengungkap rahasia mengapa semesta menjadi begitu besar.
Kini, kajian ulang yang dilakukan oleh tim BICEP dan Plack Consortium mematahkan temuan besar itu. Gelombang gravitasi mikro yang diklaim telah ditemukan ternyata merupakan hasil noise oleh debu galaksi.
"Analisis ini menunjukkan bahwa jumlah gelombang gravitasi mungkin tak lebih dari setengah sinyal yang terobservasi," kata Clenn Pyrke dari University of Minnesota, anggota tim Bicep, seperti dikutip New York Times, Jumat (30/1/2015).
"Kami tak bisa memastikan apakah masih ada sinyal gelombang gravitasi yang tersisa," kata Pyrke. "Pastinya, kami tak senang. Namun, kami ilmuwan, yang tugasnya adalah mengungkap kebenaran. Dalam proses ilmiah, kebenaran akan terkuak," imbuhnya.
Debu yang mematahkan
Untuk membuat temuan besar tahun lalu, tim BICEP menggunakan detektor super-sensitif pada teleskop di Antartika. Detektor itu akan mencari cahaya yang datang dari masa awal alam semesta, disebut radiasi gelombang mikro kosmik.
Pada dasarnya, yang dicari adalah pola putaran dalam polarisasi cahaya. Pola inilah yang menjadi dasar prediksi inflasi kosmos, gagasan bahwa semesta segera mengembang setelah Big Bang.
Pola putaran, disebut sebagai mode B, sekaligus juga merupakan jejak dari gelombang gravitasi yang terdapat seiring terjadinya peristiwa besar pembentuk alam semesta hampir 14 miliar tahun lalu.
Mendeteksi mode B bukan hal yang mudah. Dalam proses deteksi, sangat mungkin ilmuwan menemukan mode B "palsu". Itu bisa terjadi ketika gelombang mikro kosmik melewati obyek masif, seperti galaksi raksasa. Efek itu harus dikurangi dalam analisis.
Hal lain yang mungkin memicu penemuan mode B "palsu" adalah debu galaksi Bimasakti. Debu tersebut bisa menghasilkan polarisasi cahaya dan pola serupa dengan mode B. Dalam analisis, efek itu harus dihilangkan.
Dalam risetnya tahun lalu, tim BICEP telah menggunakan data selengkap mungkin guna mencegah hasil palsu. Sayang, tim BICEP tak punya akses data pengamatan teleskop Planck milik Badan Antariksa Eropa (ESA).