Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bom Medan, Mengapa Teroris Rela Bunuh Diri untuk Kelompoknya?

Kompas.com - 14/11/2019, 19:04 WIB
Amalia Zhahrina,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.COM - Bom meledak di Polrestabes Medan pada hari Rabu (13/11/2019). Pelaku diduga seorang pelajar berusia 24 tahun yang menyamar menjadi ojek online dan mengaku ingin mengurus SKCK.

Dalam video Mata Najwa yang diunggah ke Youtube, seorang Peneliti Intelijen dan Keamanan Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta menduga bahwa peristiwa peledakan ini bertujuan untuk membalas dendam kematian pemimpin ISIS, Abu Bakr Al-Baghdadi.

Bila dugaan ini benar, mengapa banyak orang rela mati hanya demi kelompok mereka dan sebab-sebab yang mereka yakini?

Dilansir dari Science Daily, Universitas Oxford pernah melakukan penelitian yang dipimpin oleh Profesor Harvey Whitehouse, seorang Direktur Pusat Antropologi dan Pikiran Oxford.

Baca juga: Teror Bom Surabaya, Merunut Sejarah Terbentuknya Keluarga Teroris

Penelitian ini menunjukkan bahwa ada proses psikologi unik yang memotivasi seseorang mengorbankan dirinya demi kepentingan kelompok, yaitu fusi identitas.

Fusi identitas (peleburan identitas) merupakan rasa kesatuan yang "mendalam" dengan kelompok. Rasa ini dibentuk dari hasil esensi, pengalaman emosional, dan nasib yang sama dengan orang lain yang berada di kelompok.

Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Behavioral and Brain Sciences tersebut, Whitehouse berpendapat bahwa fusi adalah faktor utama pendorong terorisme bunuh diri.

Ia beserta rekan-rekannya melakukan survei dan wawancara dengan kelompok-kelompok yang anggotanya benar-benar mati untuk satu sama lain dalam pertempuran, termasuk kelompok-kelompok bersenjata di Libya dan pasukan konvensional yang bertugas di Afghanistan dan Irak.

Studi dari Whitehouse juga mengungkapkan rasa kesatuan dari saling berbagi peristiwa emosional yang menjadikan anggota kelompok menganggap satu sama lainnya seperti saudara biologis.

Baca juga: Menalar Peran Teroris Perempuan di Balik Bom Bunuh Diri Surabaya

Anggapan tersebut menjadikan sebuah persaudaraan psikologis sehingga memotivasi untuk saling membela, melindungi, bahkan mengorbankan diri.

Whitehouse juga menjelaskan bahwa memahami fusi jauh lebih penting daripada menyerang kepercayaan ekstrem jika ingin membangun umpan balik yang efektif terhadap pelaku terorisme bunuh diri.

"Banyak orang memegang apa yang mungkin dianggap sebagai kepercayaan 'ekstrem' tetapi hanya sebagian kecil dari mereka yang benar-benar melakukan kekejaman teroris, penelitian kami berfokus pada apa yang memotivasi minoritas kecil itu,” ujar Whitehouse.

Ia menilai bahwa yang lebih penting untuk dilakukan adalah memahami para teroris, apa dan siapa yang mereka bela dan mengapa.

Baca juga: Studi Ungkap Pola Berpikir Teroris untuk Pertama Kalinya

Daripada menderadikalisasi, Whitehouse berpendapat bahwa upaya untuk membalikkan fusi identitas akan menjadi lebih efektif.

Caranya dengan memahami hal-hal yang membuat mereka merasa memiliki kesamaan, misalnya mengeksplorasi memori terbentuknya identitas personal dan proses yang membuat identitas ini dirasa sama dengan anggota kelompok lainnya.

Agar efektif, proses tersebut perlu melibatkan partisipasi tidak hanya dari para ekstremis itu sendiri, tetapi juga anggota jaringan sosial mereka dan masyarakat sekitar, seperti orang tua, guru, pemimpin agama dan rekan kerja.

"Hanya dengan memahami lebih baik penyebab mendasar komitmen pro-kelompok kita dapat mengambil manfaat dari potensinya untuk membangun kepercayaan dan kerja sama, sambil membatasi kapasitasnya untuk memicu konflik antar kelompok," sambung Whitehouse

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau