KOMPAS.com - Milk tea dengan tambahan boba sangat populer di kalangan milenial.
Namun di balik rasa legitnya, minuman ini bisa menjadi racun untuk tubuh kita sendiri.
Menurut dokter umum di Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) An Nur Yogyakarta, dr. Muhammad Faham, terlalu sering menonsumsi boba tea buruk untuk kesehatan.
"Enggak baik itu (boba tea), tinggi kalori. Sehingga berefek buruk kalau dikonsumsi berlebih," kata Faham dihubungi Kompas.com melalui telepon.
Selain tinggi kalori, minuman boba juga kaya akan kandungan gula.
Baca juga: Hal yang Harus Diketahui tentang Legitnya Boba Tea dan Kopi Kekinian
"Dalam sekali penyajian minuman (boba) itu, kadar gulanya bisa tiga kali lipat coca cola kaleng," katanya.
Karena mengandung kadar kalori dan gula yang tinggi, Faham mengatakan, minuman boba dapat memicu obesitas dan diabetes. Jika seseorang terlalu sering mengonsumsi minuman ini, ada dampak buruk lain yang mengincar.
"Bahkan kalau dalam jumlah banyak, orang tersebut berisiko mengalami konstipasi karena (boba) sulit dicerna," jelasnya.
Konstipasi lebih dikenal dengan istilah sembelit, yakni gangguan pada sistem pencernaan yang membuat tinja mengeras, sehingga sulit untuk dibuang.
Sembelit dapat menyebabkan sakit luar biasa pada penderitanya.
Dilansir dari Hello Sehat, segelas cappuccino ukuran Tall (12 oz atau 350 ml) dengan susu full-fat bisa mengandung hingga 150 kalori, 6 gram lemak (4 gram lemak jenuh), dan 6 gram protein.
Kemudian, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jae Eun Min, David B. Green dan Loan Kim, bubble tea atau boba tea memiliki kandungan gula sebesar 38 gram dan kalori sebanyak 299 kilo kalori (kkal) untuk setiap porsinya.
Padahal, menurut American Hearts Association, kebutuhan gula tambahan tidak boleh lebih dari 150 kkal per hari untuk laki-laki dan 100 kkal per hari untuk perempuan.
Dokter Rumah Sakit Indonesia dr. Ratih Febriani mengatakan bahwa dampak buruk dari terlalu sering mengonsumsi minuman manis olahan ini bisa terlihat dari usia pasien-pasien yang datang kepadanya.
Ratih menduga pergeseran usia penderita jantung koroner yang semakin muda dikarenakan oleh pola konsumsi masyarakat yang berubah.