KOMPAS.com - Prof. Dr. Irwandi Jaswir, guru besar International Islamic University Malaysia, mengatakan bahwa Indonesia harus membangun industri halal yang sesungguhnya untuk bersaing di era industri 4.0.
Industri halal adalah salah satu industri yang paling menanjak saat ini. Industri ini diperkirakan senilai 3,1 trilyun dolar AS, dengan sektor pangan menyumbang seperlimanya.
Pada 2010, pasaran pangan halal global mencapai 640 milyar dolar AS dengan pertumbuhan sebesar 1,5%. Selain pangan, industri kosmetik, dan obat-obatan halal juga tidak kurang besarnya.
Meski begitu, Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, belum dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk menjadi salah satu pemain utama dalam industri halal.
"Jangankan melirik pangsa besar yang luar biasa besar diatas, pembangunan industri halal di Indonesia justru lebih fokus hanya sertifikasi," kata Irwan kepada Kompas.com.
Baca juga: Hidung Buatan Ini Bisa Deteksi Minyak Babi, Pastikan Makanan Halal
Sertifikasi merupakan salah satu cara untuk memberi jaminan sebuah produk yang beredar di pasaran halal untuk dikonsumsi.
Menurut Irwandi, tidak ada yang salah dengan sertifikasi, namun menjadikan sertifikasi sebagai prioritas pembangunan industri halal merupakan tindakan yang kurang tepat.
"Sertifikasi seharusnya berjalan seiring dengan 'misi' utama, yakni membangun industri halal yang sesungguhnya—yang antara lain melakukan pembinaan kepada industri," tuturnya.
"Tidak hanya itu, mendidik masyarakat memiliki kesadaran halal (halal awareness), dan tidak ketinggalan melakukan Penelitian dan Pengembangan (Litbang)," katanya.
Di era Industri 4.0, sertifikasi sudah harus melibatkan kemajuan “Blockchains dan Big Data”, di mana kecepatan menjadi penentu, termasuk dalam memproses sertifikasi halal itu sendiri sekaligus dengan metode pengesahan (authentication) yang telah teruji secara ilmiah.
Baca juga: Sisik Ikan Bisa Jadi Obat Luka Halal untuk Semua Pemeluk Agama
Dalam pengembangan industri halal, setidaknya ada tiga hal yang menjadi isu penting.
Ketiganya adalah mengembangkan bahan-bahan halal alternatif untuk menggantikan bahan tidak halal, mengembangkan sistem pemprosesan produk, serta pengembangan metode cepat autentikasi dan pendeteksian komponen tidak halal.
Alat-alat pendeteksian (detection kit) halal yang berdasarkan molekuler, misalnya, malah banyak diproduksi oleh Jerman, AS atau Jepang. Malaysia dan Thailand juga sudah mulai mengejar.
Indonesia harus intensif mengembangkan Sains Halal seandainya negara dengan 220 juta populasi Muslim ini bercita-cita menjadi pemain utama dalam industri halal dunia.
Ada dua hal yang perlu menjadi prioritas dalam pengembangan riset Sains Halal di Indoneia.
Pertama adalah pengembangan metode autentikasi kehalalan makanan yang cepat dan ampuh, termasuk pengembangan metode-metode baru yang lebih sensitif dan bisa dihandalkan untuk menganalisa komponen tidak halal.
Selanjutnya, pengembangan bahan-bahan mentah serta bahan tambahan makanan (food additives) yang terjamin kehalalannya dari sumber lokal.
"Kami meyakini bahwa riset ilmiah terkait Sains Halal yang mencakup bahan alternatif halal, autentikasi halal, mengembangan metode cepat analisa halal, produk halal pangan dan kosmetik, pengembangan standar halal dan lainnya," ujar Irwan.
Pasalnya, hal-hal ini bukan hanya elemen penting dalam melindungi konsumen Muslim dari kerentanan kontaminasi bahan tidak halal, tetapi juga sangat dibutuhkan dalam membangun industri halal yang berorientasi untuk pengembangan ekonomi bangsa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.